Kedisiplinan waktu itu terasa pula di setiap aspek keseharian. Transportasi publik datang tepat waktu. Antrian dijaga dengan rapi. Tidak ada suara keras atau perilaku yang mengganggu. Semua berjalan berdasarkan kesadaran bahwa keteraturan publik adalah tanggung jawab bersama. Di titik inilah kita bisa memahami bahwa pendidikan karakter di Jepang tak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di ruang sosial yang luas---dari keluarga hingga komunitas, dari ruang publik hingga sistem transportasi.
Dalam konteks ini, Lickona menegaskan bahwa karakter dibangun melalui komunitas moral yang konsisten. Sekolah hanyalah satu bagian dari sistem ekologi pendidikan yang lebih besar. Ketika keluarga, masyarakat, dan institusi publik memiliki nilai yang sama, karakter tumbuh bukan sebagai "mata pelajaran", melainkan sebagai budaya. Itulah yang saya saksikan di Jepang: karakter bukan diajarkan, melainkan dihidupi.
Belajar dari Jepang, Kembali ke Indonesia
Kunjungan singkat itu meninggalkan banyak pertanyaan reflektif. Apakah sekolah-sekolah di Indonesia masih menempatkan tanggung jawab, disiplin, dan kebersihan sebagai bagian dari karakter dasar? Atau, justru semakin jauh karena terlalu sibuk mengejar prestasi akademik dan lomba-lomba? Tak jarang kita mendengar siswa yang mengotori ruang kelas sendiri tanpa rasa bersalah, atau sekolah yang menumpuk pekerjaan kebersihan pada petugas kebersihan semata. Padahal, tanggung jawab terhadap lingkungan adalah bentuk nyata pendidikan karakter.
Banyak sekolah di Indonesia sebenarnya punya tradisi serupa---kerja bakti, piket kelas, membersihkan halaman. Namun, yang hilang seringkali adalah maknanya. Kegiatan itu berubah menjadi sekadar formalitas tanpa refleksi nilai. Anak-anak tidak lagi memahami bahwa dengan menyapu lantai, mereka sedang melatih hati untuk peduli dan tangan untuk bekerja bagi sesama. Di sinilah tantangan besar pendidikan karakter kita: mengembalikan makna di balik tindakan sederhana.
Sekolah Regina Pacis Jakarta, lewat pilar Kurikulum Internasional-nya, mencoba menumbuhkan kesadaran itu lewat pengalaman lintas budaya. Bukan hanya untuk melihat dunia luar, tetapi juga untuk merefleksikan diri. Dalam program International Experiential Learning ke Fukuoka, murid-murid tidak sekadar belajar tentang Jepang, melainkan tentang bagaimana nilai-nilai karakter bisa dihidupkan dalam konteks modern tanpa kehilangan akar tradisi.

Karakter sebagai Jiwa Pendidikan
Pendidikan karakter sejatinya adalah proses pembentukan manusia yang utuh---yang berpikir, merasa, dan bertindak baik. Bagi Lickona, tujuan pendidikan bukan sekadar menghasilkan orang pandai, melainkan manusia yang baik dan peduli. Dalam kerangka ini, pengalaman internasional menjadi ruang perjumpaan nilai: mengasah empati lintas budaya, melatih kepekaan sosial, dan menumbuhkan rasa hormat terhadap perbedaan.
Nilai-nilai itu tak bisa ditanamkan lewat ceramah atau ujian, melainkan lewat teladan dan kebiasaan. Jepang menunjukkan hal itu dengan sederhana: membersihkan ruang kelas sendiri, datang tepat waktu, berjalan dengan tenang, menghargai ruang publik. Semua hal kecil itu membentuk manusia yang bertanggung jawab, disiplin, dan berintegritas.
Bagi saya pribadi, perjalanan ke Fukuoka bukan sekadar mendampingi murid, melainkan perjalanan batin seorang pendidik untuk kembali memahami makna pendidikan karakter yang sesungguhnya. Karakter bukan proyek sekolah, melainkan napas kehidupan itu sendiri. Ia tumbuh dari tindakan kecil yang dilakukan berulang kali dengan cinta dan kesadaran.
