Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Hidup: Menyemai Pengetahuan, Mengasah Kemanusiaan

16 September 2025   19:26 Diperbarui: 16 September 2025   19:26 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar diambil dari xhttps://www.shutterstock.com/

Di banyak sekolah, pemandangan murid-murid yang sibuk menyalin catatan di papan tulis masih lumrah. Guru berkejaran dengan waktu, memastikan semua bab dalam buku teks tersampaikan sebelum ujian semester tiba. Namun, di balik aktivitas padat itu, sering muncul pertanyaan: apakah yang dipelajari sungguh dipahami, atau hanya sekadar dihafalkan untuk sementara waktu?

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa kurikulum sering dipersempit menjadi daftar isi materi yang harus selesai. Padahal, kurikulum sejatinya adalah jantung pendidikan. Ia bukan sekadar kumpulan pengetahuan faktual, tetapi arena di mana murid membangun makna, melatih nalar kritis, dan menumbuhkan kemanusiaan.

Kurikulum yang hidup seharusnya menyemai pengetahuan sekaligus mengasah kemanusiaan. Inilah yang menjadi tantangan besar bagi pendidikan Indonesia di era Kurikulum Merdeka.

Kurikulum: Lebih dari Daftar Materi

Michael Young (2008) menekankan bahwa kurikulum tidak boleh direduksi hanya sebagai kumpulan informasi. Ia adalah "konstruk sosial" yang memuat keputusan fundamental: pengetahuan apa yang dianggap penting, siapa yang berhak mengajarkannya, dan untuk tujuan apa. Dengan kata lain, kurikulum adalah pilihan politik sekaligus epistemologis.

Dalam tradisi pendidikan klasik, sebagaimana dikemukakan Kelly (2009), kurikulum harus dipandang sebagai pengalaman belajar yang utuh. Guru tidak sekadar menyampaikan isi buku teks, tetapi membangun proses yang memungkinkan murid mengalami pengetahuan.

Buku Knowledge & Curriculum menegaskan pentingnya dimensi filosofis dalam penyusunan kurikulum: pengetahuan bukan netral, melainkan sarat nilai. Kurikulum dengan demikian bukan hanya ruang akademik, tetapi juga wahana membentuk pribadi yang utuh---cerdas, kritis, dan beretika.

Pengetahuan dan Kemanusiaan

Jika kurikulum dipandang sebagai sekadar "isi", maka murid hanya menjadi pengumpul fakta. Padahal, pendidikan yang sejati adalah proses memanusiakan. Paulo Freire (1970) menyebut praktik reduktif ini sebagai banking education, di mana guru menabungkan informasi dalam pikiran murid. Sebaliknya, pendidikan yang membebaskan mengajak murid berdialog dengan pengetahuan.

Di Indonesia, tantangan ini terasa nyata. Di satu sisi, kita perlu menyiapkan generasi muda agar kompetitif di dunia global yang serba berbasis sains dan teknologi. Namun, di sisi lain, kita juga harus menjaga akar budaya, nilai gotong royong, serta landasan Pancasila. Kurikulum hidup menuntut keseimbangan: sains modern harus berjalan seiring dengan etika, estetika, dan spiritualitas lokal.

Deng (2018) menambahkan bahwa pengetahuan dalam kurikulum selalu berhubungan dengan kemanusiaan karena ia menentukan cara murid memahami dunia dan posisinya di dalamnya. Dengan demikian, kurikulum bukan sekadar soal "apa yang dipelajari", tetapi juga "manusia macam apa yang ingin dibentuk".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun