Fenomena ini menunjukkan lemahnya strategi komunikasi kebijakan. "Perubahan metode tanpa tujuan yang jelas hanyalah permainan retorika" (Hirst, 1974, hlm. 5). Jika publik tidak mendapatkan penjelasan memadai, maka persepsi yang terbentuk bisa keliru dan menimbulkan kebingungan di tingkat implementasi.
Hilangnya identitas Kurikulum Merdeka juga berdampak pada konsistensi pelaksanaan di sekolah. Guru yang telah beradaptasi dengan struktur dan format Kurikulum Merdeka kini dihadapkan pada pendekatan baru tanpa peta integrasi yang jelas.
Akibatnya, terjadi "double burden" pada guru: mereka harus menjaga kesinambungan Kurikulum Merdeka sambil mempelajari dan mencoba mengimplementasikan Pembelajaran Mendalam, yang secara teknis berbeda orientasi.
Politik dan Sosio-budaya dalam Kebijakan Kurikulum
Sejarah pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa kurikulum tidak pernah steril dari pengaruh politik. Setiap pergantian rezim cenderung membawa perubahan nama dan arah kebijakan kurikulum. Hirst (1974) mengingatkan bahwa "pendidikan adalah usaha rasional yang harus didasarkan pada tujuan yang disepakati, bukan pada fluktuasi politik" (hlm. 6).
Masalah muncul ketika kebijakan pendidikan lebih dipandu oleh agenda politis daripada kebutuhan pedagogis. Pendekatan Pembelajaran Mendalam, meskipun menjanjikan secara konseptual, berisiko menjadi korban pergantian kekuasaan jika tidak memiliki landasan hukum dan filosofis yang kokoh.
Selain itu, faktor sosio-budaya juga memainkan peran penting. Resistensi terhadap perubahan, kesenjangan literasi digital, dan disparitas fasilitas antarwilayah menjadi penghambat serius. Kebijakan yang tidak mempertimbangkan kondisi ini akan sulit berjalan efektif.
Depolitisasi kurikulum menjadi agenda penting jika pendidikan ingin lepas dari siklus perubahan kebijakan yang reaktif. Pendidikan harus dilindungi dari tarik-menarik kepentingan politik dan dijalankan berdasarkan data serta kebutuhan nyata di lapangan.
Menutup Jurang Teori dan Implementasi
Agar Pembelajaran Mendalam benar-benar memberikan dampak positif, ia harus dibingkai dalam kurikulum yang jelas dan terstruktur. Integrasi dengan Kurikulum Merdeka perlu dijelaskan secara resmi kepada publik dan guru, sehingga tidak terjadi kebingungan istilah dan arah kebijakan.
Pelatihan guru menjadi prioritas utama. Tanpa guru yang paham filosofi dan teknik implementasi, pendekatan ini hanya akan menjadi slogan. Pelatihan harus diiringi dengan pendampingan berkelanjutan dan pengurangan beban administratif yang menghambat inovasi mengajar.