Namun empati juga bisa melelahkan jika tidak diiringi dengan batas sehat. Pemimpin perlu menjaga energi empatinya agar tidak larut dalam drama atau kehilangan objektivitas. Oleh karena itu, keseimbangan antara empati dan ketegasan menjadi kunci.
Empati bukan hanya keterampilan interpersonal, tetapi juga spiritualitas yang hidup. Pemimpin yang berempati tidak hanya memimpin dengan kepala, tetapi juga dengan hati --- dan itu mengubah segalanya.
4. Latihan Reflektif: Membentuk Pemimpin yang Terbuka dan Tangguh
Kesadaran dan pengelolaan diri tidak hadir dengan sendirinya. Ia lahir dari kebiasaan refleksi yang konsisten. Kepala sekolah yang mengalokasikan waktu harian atau mingguan untuk meninjau kembali pengalaman, emosi, dan keputusan yang telah diambil, sedang membangun pusat gravitasi batin yang kuat.
Latihan ini bisa sederhana: menuliskan pengalaman sehari dalam jurnal, bertanya "apa yang membuatku reaktif hari ini?", atau berbicara dengan mentor untuk mendapatkan perspektif baru. Dalam refleksi yang jujur, pemimpin belajar mengenali pola-pola yang selama ini tidak disadari.
Refleksi juga membantu pemimpin menjauh dari sikap defensif. Ia tidak takut mengakui kesalahan karena tahu bahwa kerendahan hati adalah bagian dari kekuatan. Ia tidak merasa perlu selalu sempurna, tetapi terus belajar menjadi lebih baik.
Sekolah adalah arena yang sangat kompleks --- penuh tekanan administratif, ekspektasi publik, dan dinamika sosial. Tanpa refleksi, pemimpin bisa terjebak dalam autopilot dan kehilangan arah. Dengan refleksi, ia tetap terhubung dengan makna dan misi kepemimpinannya.
Seperti disarankan oleh John Dewey, pendidikan adalah rekonstruksi pengalaman (Dewey, 1938). Maka, pemimpin yang terus merefleksi dirinya sedang menjalankan pendidikan bagi dirinya sendiri --- dan itu akan memancar ke seluruh komunitas sekolah.
5. Mengenali Gaya Kepemimpinan: Menemukan Diri dalam Peran
Tidak semua orang cocok menjadi pemimpin karismatik yang memukau, atau pemimpin visioner yang penuh gebrakan. Mengenali gaya kepemimpinan pribadi penting agar seorang kepala sekolah dapat memimpin dengan nyaman, efektif, dan autentik.
Gaya otoriter, demokratis, atau transformasional memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Yang terpenting bukan memilih gaya yang "paling hebat", tetapi gaya yang paling sesuai dengan kepribadian dan konteks. Misalnya, di sekolah dengan budaya paternalistik kuat, pendekatan coaching bisa lebih efektif ketimbang konfrontasi frontal.