"Apakah Anda bangga menjadi orang Indonesia ?",
begitu pertanyaanku pada teman-teman di sebuah jejaring sosial.
Dari 29 orang yang menjawab, hanya 2 orang yang menyatakan bangga dengan mantap.
Selebihnya menyatakan biasa-biasa saja (10 orang),
bangga tapi tidak bangga pada pemerintahnya (11 orang),
ingin merasa bangga (2 orang),
bahkan ada yang bangga jika sebuah persyaratan dipenuhi.
Terpikir olehku, bahwa seharusnya pertanyaan ini tidak terhenti sampai di situ, tapi berlanjut pada sebuah dialog yang produktif. Jadi barangkali aku akan mengajukan sebuah pertanyaan baru :
"Lalu apa yang harus kita lakukan untuk membuat kita bangga menjadi orang Indonesia ?"
Jawabannya memang seharusnya berhubungan dengan tindakan kita sendiri. Karena sudah terlalu lama kita menunggu entah Superman entah Satria Piningit untuk melakukan tindakan atas nama kita. Dan ketika kita mengira superhero yang ditunggu-tunggu itu telah datang, kita memang sempat bergembira. Tapi sayangnya ... sejenak.
Karena itu, ijinkan aku menjawab pertanyaan baruku itu sebelum mengajukannya kepada teman-teman:
"Jadi apa yang akan kaulakukan untuk membuat dirimu bangga menjadi orang Indonesia, Tuty?"
"Sepertinya aku membutuhkan pahlawan atau inspirator pribadi", begitu jawabku.
Bukannya kita kekurangan pahlawan dan inspirator, mengingat media massa juga rajin mengisahkan orang-orang hebat semacam itu pada kita semua. Tetapi memiliki idola yang kita kenal secara pribadi itu sangat penting.
Pertama, karena kita adalah pribadi-pribadi kreatif yang
akan merasa terlibat penuh ketika mendapat kesempatan
untuk membuat pilihan kita sendiri, bukan sekedar
menerima pilihan yang disodorkan oleh media massa.
Ke dua, karena pahlawan dan inspirator pribadi itu
kita kenal sebagai sosok yang terjangkau, believable,
sehingga mudah diinternalisasi. Â Jadi selain mengenal
kekuatan dan kearifannya, kita juga akan lebih mampu
mengidentifikasi diri dengannya melalui suka-dukanya,
jatuh-bangunnya, sisi manusiawinya, kesalahan-kesalahannya,
selera humornya, bahkan mungkin ... model sepatu favoritnya ;-).
"Baiklah, lalu siapakah inspirator pribadimu, Tuty ?"
Ya, siapakah orang Indonesia yang kukagumi ?
Ternyata cukup banyak... (Senangnya ;-).
Beberapa di antaranya bahkan merupakan tokoh yang memiliki banyak pengagum, dimana kisahnya banyak beredar dalam berbagai versi.
Tapi karena kali ini aku hanya akan membuat tulisan singkat, maka aku akan memilih beberapa, itupun hanya menonjolkan sisi yang terpenting (bagiku) saja.
Harap dicatat, bahwa para inspirator sejati itu tak mungkin disusun berdasarkan peringkat. Jadi kalau berikut ini tampak tersusun dalam urutan, itu hanyalah karena keterbatasan dimensi kata-kata.
Karena sudah seharusnya setiap pahlawan itu menempati dimensi batin yang tak mengenal urutan dan perbandingan, bukan dimensi kata-kata.
Sebagian besar inspirator pribadiku adalah penulis, baik yang terkenal maupun kurang dikenal.
Salah satu yang kurang dikenal itu adalah pak Hidayat, seorang yang penulis sekaligus penerbit yang menarik hatiku setelah ia dengan sengaja 'berbagi kuenya' dengan penerbit-penerbit kecil. Ia bahkan menyempatkan dirinya untuk membujuk mereka yang tinggal di pelosok-pelosok supaya tidak berhenti berproduksi. Dan ini sungguh mengherankan : "Apa yang ada di benak pengusaha kelas menengah seperti dia yang malah berjuang untuk menghidupkan kembali 'para pesaingnya' ?"
Tak lama sesudah itu aku 'melihat', bahwa ia hanya sedang mengikuti sebuah hukum Alam yang kira-kira berbunyi:
'Mereka yang berbagi, akan semakin kaya'.
Kini, setiap kali aku berjumpa dengannya, aku selalu merasa menjadi saksi atas sebuah kenyataan bahwa hukum tersebut sangat benar adanya. Dialah salah satu paket lengkap itu, dimana pemikiran yang visioner, kreativitas, keuletan berusaha, dan kepedulian sosial ada padanya.
Inspirator pribadiku selanjutnya adalah seorang penulis terkenal bernama Ajip Rosidi.
Sejujurnya, aku belum sampai pada tahap mengagumi karya sastranya. Aku justru mengagumi karya kemanusiaannya, meliputi kepeduliannya pada literasi, pada budaya, juga pada benih-benih muda. Entah berapa banyak pemuda berbakat yang dibiayainya sendiri untuk belajar, termasuk mengikuti berbagai workshop di manca negara. Ratusan koleksi lukisannya adalah salah satu bukti, betapa besar apresiasinya pada seni, dan betapa ia peduli pada bakat-bakat baru yang memerlukan fasilitasi.
Buku, dunia tulis-menulis dan bahasa Ibu adalah perhatian pak Ajip yang bukan hanya tak pernah surut, malah diperluasnya dengan cara mengadakan apresiasi tahunan untuk penulis berbahasa Ibu dari berbagai daerah. Kini, setelah sekian tahun bekerja hampir seorang diri, ia bisa tersenyum puas melihat berbagai dukungan akhirnya datang mengalir.
Ya, buku dan dunia penulisan itulah yang telah membentuk seorang Ajip Rosidi, bukan pendidikan formal yang sengaja ia tinggalkan karena dianggapnya mengandung 'tipu-daya'. Tapi untuk seseorang yang tidak tamat SMA, mestinya lumayan juga dia bisa menjadi pengajar di Jepang selama puluhan tahun, bahkan menjadi Doktor Honoris Causa ;-)). Dan untuk seseorang yang cukup keras mengritik pemerintah (juga beberapa figur publik yang dianggapnya keliru), tentu menarik melihatnya mengomeli petugas pajak yang sedang berusaha mengajarinya 'siasat mengurangi pembayaran pajak' ;-).
Tapi yang paling mengesankan darinya adalah nasihatnya kepadaku :
"Janganlah engkau bekerja demi uang.
Bekerjalah demi kemaslahatan orang banyak,
karena dengan cara begitulah uang akan datang dan bekerja untukmu."
Aku tidak tahu apakah kekayaannya berkurang setelah ia mendonasikan koleksi lukisannya yang berharga itu demi menghadirkan sebuah perpustakaan kota (yang anehnya malah sengaja dia namai dengan nama orang lain). Tapi yang kutahu, sebuah hukum Alam yang diyakininya itu telah ia buktikan dengan seluruh hidupnya, dan yang kulihat darinya adalah sosok kuat yang semakin 'bercahaya' saja. Jadi sudah pasti ada konspirasi langitan yang sengaja menghadirkan dia dalam hidupku, agar aku makin mantap untuk mematuhi hukum langitan yang sama dengannya ;-).
Seseorang lain yang ingin kukenang saat ini adalah pak Iyan Kusumadinata almarhum, seorang pemimpin salah satu perguruan seni bela diri di Bandung yang pernah menjadi penari istana pada masa Soekarno. Sayang sekali aku mengenalnya sebentar saja.
Tapi kata-kata terakhirnya padaku itu tidak akan pernah kulupakan :
"Sesekali, bergaullah kamu dengan orang-orang yang kurang cahayanya,
kurang ilmunya, bahkan mungkin kurang segalanya."
Aku tidak ingat mengapa, bahkan seingatku aku merasa tidak perlu bertanya mengapa.
Tapi yang kutahu, nasihatnya padaku itu pasti merupakan salah satu landasan kekuatannya untuk berperan serta secara 'tak terlihat' dalam mengendalikan kejahatan di berbagai daerah. Dengan seni tari, seni bela diri, dan pemahaman sufistiknya itu, jelas ia merupakan paket lengkap lainnya, dimana paduan antara kekuatan dan kelembutannya membuat dia menerima dan diterima, baik oleh 'golongan hitam' maupun 'golongan putih'.
Masih banyak orang Indonesia yang sangat kukagumi.
Ada sekelompok ilmuwan yang membuatku ternganga melihat keagungan Tuhan melalui cawan petri.
Ada juga seorang penulis perempuan (almarhum) yang tubuhnya terpenjara oleh cacat fisik, tapi pikiran bernas dan kearifannya menarik banyak pejuang muda ke rumahnya, bahkan membawanya jauh ke manca negara.
Ya, masih banyak, masih banyak, ... bahkan tak kurang banyaknya mereka yang sekarang sedang membentuk dirinya untuk menjadi sumber inspirasiku berikutnya.
Terhadapku, kuharap mereka berdampak menular seperti virus ;-).
Dan ini membuatku sadar, bahwa tantangan berat yang sedang kita hadapi sebagai bangsa ini sesungguhnya tidak hanya memunculkan sampah dan belatung yang mengganggu.
Karena memang begitulah semua kawah candradimuka, memang sebanyak itulah harga yang harus dibayar untuk melahirkan para pejuang baru.
Jadi untuk alasan itu, aku merasa terhormat telah menjadi bagian dari proses ini.
Dan atas kehadiran para pejuang seperti itu, sepertinya aku merasakan kebanggaanku bertambah beberapa ons ;-).
mmm
gambar batik dari mitrasites.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI