Cerobong flaring milik PT Lotte Chemical Indonesia terus menyemburkan api dan asap hitam ke langit Cilegon. Pemandangan ini tak lazim, apalagi jika mengacu pada klaim perusahaan bahwa kondisi pabrik dalam keadaan "baik-baik saja".
Api menjilat tinggi, merah menyala, disertai dengung mesin dan bau gas yang menyengat. Sejak awal beroperasi lima hari lalu, kobaran itu tak juga padam. Asap hitam pekat mengepul siang dan malam, menyelimuti langit layaknya mimpi buruk yang tak kunjung usai.
Warga yang tinggal di sekitar kawasan industri terkejut dan resah. Setiap hari mereka menyaksikan langit memerah di malam hari dan menghitam di siang hari.
Banyak yang merekamnya dengan ponsel, membagikannya ke media sosial, berharap ada yang mendengar. Tapi yang datang justru sunyi dari pihak berwenang.
Juhdi (43), warga Kecamatan Grogol, mengaku baru kali ini melihat kobaran sebesar itu. "Sekarang malah seperti kebakaran. Getaran juga terasa," ujarnya.
Sudah lima hari berlalu, namun tak ada penjelasan dari pemerintah daerah. Wali kota tak muncul. Anggota DPRD bungkam. Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan Hidup juga tak bersuara. Badan Penanggulangan Bencana Daerah tak ada langkah mitigasi, tak ada imbauan, bahkan tidak ada informasi terbuka.
Seolah-olah kobaran api yang terus menyala hanyalah rutinitas biasa, bukan persoalan lingkungan yang mengancam kesehatan publik.
Kita diminta percaya begitu saja pada narasi perusahaan yang menyebut semuanya "aman" tanpa ada data kualitas udara, tanpa pengukuran polusi yang diumumkan ke publik. Narasi tunggal ini dipublikasikan ke berbagai media online, namun tak diiringi transparansi data.
Padahal, flaring bukan sekadar urusan teknis. Laporan Global Gas Flaring Reduction Partnership dari Bank Dunia (2020) menyebut, pembakaran ini melepaskan zat berbahaya seperti karbon dioksida (CO), karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), dan partikel halus PM2.5.
Semua itu berkontribusi pada gangguan pernapasan, penyakit paru-paru kronis, asma, hingga kematian dini.
Partikel PM2.5 yang jauh lebih kecil dari debu biasa, bisa masuk ke paru-paru, menembus aliran darah, dan tinggal di dalam tubuh.
Studi Harvard T.H. Chan School of Public Health (2021) menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap polusi udara meningkatkan risiko kematian akibat berbagai penyakit, termasuk penyakit jantung dan infeksi pernapasan. Polusi adalah pembunuh senyap.
Namun warga seolah dibiarkan menghadapi ancaman ini sendirian. Tak ada pengukuran udara yang diumumkan. Tak ada distribusi masker. Tak ada posko medis. Pemerintah memilih diam.
PT Lotte Chemical Indonesia hanya menyebut flaring sebagai "proses normal". Tapi tak ada penjelasan mengapa kobarannya begitu besar dan berlangsung selama berhari-hari. Kita dipaksa menelan mentah-mentah narasi "aman", padahal kasat mata menunjukkan hal sebaliknya.
Diamnya pemerintah daerah juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas informasi lingkungan hidup yang akurat dan terbuka.
Pelaku usaha juga wajib menyampaikan dampak kegiatannya terhadap lingkungan. Namun hak itu seolah dilenyapkan dalam kebisuan kolektif.
Flaring memang tak langsung menewaskan. Tapi ia membawa ancaman jangka panjang, racun di udara yang perlahan melemahkan tubuh, merusak paru-paru, menurunkan kualitas hidup.
Memang tak ada ledakan besar, tak ada korban terbakar, tapi ada napas yang berat, dada yang sesak, dan masa depan generasi yang tumbuh dengan paru-paru tercemar. Itulah mengapa flaring disebut sebagai the silent killer.
Langit Cilegon masih diselimuti asap. Cerobong masih menyembur api. Warga terus bersuara, tapi hingga kapan pemerintah akan membisu?
Karena ketika nyawa warga bukan menjadi prioritas, kita patut bertanya, apakah keselamatan akan terus dikorbankan demi angka investasi?
---
Referensi:
World Bank. (2020). Global Gas Flaring Reduction Partnership Report.
Harvard T.H. Chan School of Public Health. (2021). Air Pollution and Increased COVID-19 Mortality.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI