Partikel PM2.5 yang jauh lebih kecil dari debu biasa, bisa masuk ke paru-paru, menembus aliran darah, dan tinggal di dalam tubuh.
Studi Harvard T.H. Chan School of Public Health (2021) menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap polusi udara meningkatkan risiko kematian akibat berbagai penyakit, termasuk penyakit jantung dan infeksi pernapasan. Polusi adalah pembunuh senyap.
Namun warga seolah dibiarkan menghadapi ancaman ini sendirian. Tak ada pengukuran udara yang diumumkan. Tak ada distribusi masker. Tak ada posko medis. Pemerintah memilih diam.
PT Lotte Chemical Indonesia hanya menyebut flaring sebagai "proses normal". Tapi tak ada penjelasan mengapa kobarannya begitu besar dan berlangsung selama berhari-hari. Kita dipaksa menelan mentah-mentah narasi "aman", padahal kasat mata menunjukkan hal sebaliknya.
Diamnya pemerintah daerah juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas informasi lingkungan hidup yang akurat dan terbuka.
Pelaku usaha juga wajib menyampaikan dampak kegiatannya terhadap lingkungan. Namun hak itu seolah dilenyapkan dalam kebisuan kolektif.
Flaring memang tak langsung menewaskan. Tapi ia membawa ancaman jangka panjang, racun di udara yang perlahan melemahkan tubuh, merusak paru-paru, menurunkan kualitas hidup.
Memang tak ada ledakan besar, tak ada korban terbakar, tapi ada napas yang berat, dada yang sesak, dan masa depan generasi yang tumbuh dengan paru-paru tercemar. Itulah mengapa flaring disebut sebagai the silent killer.
Langit Cilegon masih diselimuti asap. Cerobong masih menyembur api. Warga terus bersuara, tapi hingga kapan pemerintah akan membisu?
Karena ketika nyawa warga bukan menjadi prioritas, kita patut bertanya, apakah keselamatan akan terus dikorbankan demi angka investasi?
---