Jika kesini jangan kaget ketika melihat anak-anak bermain bola di tengah keraton yang dijadikan sebagai lapangan. Kawasan ini memang terbuka, jangankan anak-anak bermain bola, warga saja sampai mengembalakan kambingnya di sini.
Keraton Surosowan
Setelah mengunjungi Keraton Kaibon, kita bergerak ke utara. Berjarak 500 meter dan menyebrangi sungai Cibanten kita telah sampai di Keraton Surosowan.
Seperti Kaibon, Surosowan juga hanya meninggalkan reruntuhannya saja. Dahulu keraton ini menjadi pusat pemerintahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, serta budaya. Surosowan menjadi tempat tinggal para raja. Sementara para keluarga raja, pejabat tinggi kesultanan, dan bangsawan tinggal di sekitarnya.
Keraton seluas 3 hektare ini mulai dibangun sejak  tahun 1552 hingga 1570 dengan empat fase pembangunan. Sayang banget, ketika Kesultanan Banten ditaklukan Belanda,  keraton dihancurkan atas perintah Gubernur Jendral Herman Deandles pada tahun 1813. Keraton ini pun terpaksa ditinggalkan oleh para penghuninya.
Meski tinggal bekas reruntuhannya saja, keraton yang bersebelahan dengan Masjid Agung Banten ini menarik untuk dikunjungi. Revitalisasi kawasan Banten Lama membuat tempat bersejarah ini lebih terawat dan cantik.
Masjid Pecinan Tinggi
Berhubung tidak bisa masuk Masjid Agung Banten, perjalanan bersepedah menuju arah barat, tepatnya di kampung yang dulunya dihuni oleh warga asal Cina. Di sini terdapat Masjid Pecinan Tinggi.
Masjid yang dahulunya dijadikan sebagai kawasan perdagangan warga Cina ini pun hanya meinggalkan sisa puing bangunan saja. Bagian masjid yang tersisa adalah mihrab dan fondasi bangunan masjid. Menara masjid berbentuk persegi empat ini masih sangat kokoh.
Ternyata masjid ini usianya lebih tua dari Masjid Agung Banten. Sultan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Banten pertama yang membangun, kemudian pembangunan dilanjutkan oleh anaknya Sultan Maulana Hasanuddin.