Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Temaram

9 Juli 2020   09:20 Diperbarui: 9 Juli 2020   09:28 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sepanjang jalan Tulungagung-Trenggalek, niat itu terhujamkan
Bukan jarak tempuh itu yang dipersoalkan
Bukan menyoal tentang banyak durasi yang dihamburkan
Pula bukan karena monopoli sepihak yang  dipandang menguntungkan
Tapi, hendak mencecar arti daripada kebenaran
Yang berselimut tebal dalam perbedaan

Ya, ini berbicara lantang tentang intisari kemajemukan
Mengais-ngais pemahaman
Menelusuri relung-relung keagungan Tuhan
Upaya kesadaran atas wajah nyata realitas kehidupan
Menerima apa-apa yang ada di depan mata

Tapi, apa daya gerangan yang ada?
Bagaimana mungkin manusia-manusia itu seketika terjangkit lupa?
Amnesia sesaatnya menonjol ke muka
Busung dadanya melumat habis kewarasan tanpa bersisa

Dan kini, melatah diri sekonyong-konyong keras kepala
Memangku tangan dadak menjadi tunanetra
Sekejap mata mengunci mulut lebarnya mengaku diri tunawicara
Tatkala disodorkan kudapan hangat berparas pluralitas agama

Apa yang salah dengan kudapan itu?
Apakah kurang terasa nikmat?
Jamuan Tuhan teruntuk makhluk sepanjang riwayat
Melintas harapan-kehendak semua umat

Namun, mengapa sampai hati khalayak tak mengunyahnya?
Menolaknya mentah-mentah

Lantas teramat banyak orang menapikannya
Mematri diri, berani menghakimi
Mengulitinya membabi buta tanpa mau mendengar sejumput dalil aqli
Bergegas mengeksekusi tanpa sedikitpun mengasihi

Biar kutandaskan sekali lagi,
Apa yang salah dengan kudapan itu?
Hingga piawai mereka-meraka memandangnya dengan tatapan sinis yang menggila
Bahkan mengutuk keras kehadirannya
Labelitas; "penghuni neraka!", sorak-sorai tudingan itu menggema

Di pojok ketidakwarasan itu aku merenungkannya
Terlampau jauh manusia menyalahi kodratnya
Sejak kapan manusia memilih hobi menumpulkan akut akal dan hati dalam benaknya?
Membatasi diri mengeruk pembelajaran dan hikmah yang tersurat

Ah, sejak kapan pula kenistaan makhluk  menggulingkan kuasa Tuhan?
Dari manakah makhluk memiliki kuasa menentukan penghakiman?
Sementara, semuanya itu ciptaan Tuhan
Bukankah berarti kefanaan hidup dalam kemajemukan itu wujud kesengajaan?
Bukan terlahir lantaran kebebalan manusia yang mapan

Lantas, bagaimana mungkin manusia sangat gandrung mengkafir-kafirkan?
Eksklusivitas kebenaran pribadi berhasil digenggamnya erat-erat dalam kekekehan
Apa iya ini karma asal-muasal eksploitasi kuda yang dilakukan tukang delman?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun