Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Pilihan

Temaram

9 Juli 2020   09:20 Diperbarui: 9 Juli 2020   09:28 114 12
Sepanjang jalan Tulungagung-Trenggalek, niat itu terhujamkan
Bukan jarak tempuh itu yang dipersoalkan
Bukan menyoal tentang banyak durasi yang dihamburkan
Pula bukan karena monopoli sepihak yang  dipandang menguntungkan
Tapi, hendak mencecar arti daripada kebenaran
Yang berselimut tebal dalam perbedaan

Ya, ini berbicara lantang tentang intisari kemajemukan
Mengais-ngais pemahaman
Menelusuri relung-relung keagungan Tuhan
Upaya kesadaran atas wajah nyata realitas kehidupan
Menerima apa-apa yang ada di depan mata

Tapi, apa daya gerangan yang ada?
Bagaimana mungkin manusia-manusia itu seketika terjangkit lupa?
Amnesia sesaatnya menonjol ke muka
Busung dadanya melumat habis kewarasan tanpa bersisa

Dan kini, melatah diri sekonyong-konyong keras kepala
Memangku tangan dadak menjadi tunanetra
Sekejap mata mengunci mulut lebarnya mengaku diri tunawicara
Tatkala disodorkan kudapan hangat berparas pluralitas agama

Apa yang salah dengan kudapan itu?
Apakah kurang terasa nikmat?
Jamuan Tuhan teruntuk makhluk sepanjang riwayat
Melintas harapan-kehendak semua umat

Namun, mengapa sampai hati khalayak tak mengunyahnya?
Menolaknya mentah-mentah

Lantas teramat banyak orang menapikannya
Mematri diri, berani menghakimi
Mengulitinya membabi buta tanpa mau mendengar sejumput dalil aqli
Bergegas mengeksekusi tanpa sedikitpun mengasihi

Biar kutandaskan sekali lagi,
Apa yang salah dengan kudapan itu?
Hingga piawai mereka-meraka memandangnya dengan tatapan sinis yang menggila
Bahkan mengutuk keras kehadirannya
Labelitas; "penghuni neraka!", sorak-sorai tudingan itu menggema

Di pojok ketidakwarasan itu aku merenungkannya
Terlampau jauh manusia menyalahi kodratnya
Sejak kapan manusia memilih hobi menumpulkan akut akal dan hati dalam benaknya?
Membatasi diri mengeruk pembelajaran dan hikmah yang tersurat

Ah, sejak kapan pula kenistaan makhluk  menggulingkan kuasa Tuhan?
Dari manakah makhluk memiliki kuasa menentukan penghakiman?
Sementara, semuanya itu ciptaan Tuhan
Bukankah berarti kefanaan hidup dalam kemajemukan itu wujud kesengajaan?
Bukan terlahir lantaran kebebalan manusia yang mapan

Lantas, bagaimana mungkin manusia sangat gandrung mengkafir-kafirkan?
Eksklusivitas kebenaran pribadi berhasil digenggamnya erat-erat dalam kekekehan
Apa iya ini karma asal-muasal eksploitasi kuda yang dilakukan tukang delman?

Pikirku dalam angan,
Sampai di sini terlalu musykil  meluluhlantakkan kenaifan manusia
Sungguh berat hati teruntuk mengakui kegagalannya
Terlebih-lebih panjang kali lebar berceloteh tentang sakralitas agama

Sekarang, mungkin manusia-manusia itu telah berupaya keras untuk mencapai kebahagiaannya
Meski dalam belenggu temaram keyakinan yang tak sempurna



Tulungagung, 09 Juli 2020

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun