“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Kitab dan mempelajarinya.” (QS. Ali ‘Imran: 79)
Filsafat pendidikan Islam menghubungkan ilmu, iman, dan akhlak dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ilmu tanpa iman akan melahirkan kesombongan; iman tanpa ilmu akan melahirkan fanatisme buta.
Dalam tradisi Islam, guru bukan sekadar pengajar, tapi pewaris para nabi. Rasulullah ﷺ bersabda: “Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tapi ilmu.” Sementara murid bukan sekadar pencari ijazah, tetapi penempuh jalan iman. Menuntut ilmu adalah jihad — bukan sekadar demi gelar, tapi demi kemuliaan di sisi Allah.
Tradisi Keilmuan Islam: Ketika Iman Melahirkan Peradaban
Sejarah Islam mencatat masa keemasan di mana iman dan ilmu berpadu melahirkan peradaban agung. Nama-nama seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Biruni, Al-Khawarizmi, dan Imam Al-Ghazali adalah bukti bahwa iman tidak menghambat ilmu, justru mengarahkannya.
Di Baghdad, Kairo, dan Andalusia, ilmu berkembang di bawah naungan iman. Masjid menjadi universitas; ulama menjadi ilmuwan; belajar menjadi ibadah. Di masa itu, sains tidak pernah lepas dari etika, dan pendidikan tidak pernah lepas dari akhlak.
Namun di zaman modern, ilmu kehilangan orientasi. Ia diajarkan tanpa ruh, dikejar tanpa niat, dan digunakan tanpa batas moral. Akibatnya, manusia semakin pandai, tetapi tidak semakin bijak.
Mengembalikan Ilmu ke Jalan Iman
Pendidikan Islam harus mengembalikan makna ilmu sebagai jalan menuju iman. Setiap guru mesti sadar bahwa ia sedang menuntun manusia kembali kepada Tuhannya. Setiap murid mesti belajar dengan hati yang tunduk, bukan sekadar otak yang penuh.
Imam Al-Ghazali mengingatkan:
“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.”