Peta Dunia yang Bergeser
Dunia sedang berubah cepat. Dalam dua dekade terakhir, China menjelma dari negara berkembang menjadi raksasa ekonomi yang menyaingi Amerika Serikat. Dominasi Barat yang selama ini nyaris mutlak mulai terguncang. Washington gelisah, Eropa waspada, sementara negara-negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah mulai menimbang ulang posisi mereka di peta global.
Kebangkitan China bukan sekadar persoalan ekonomi. Ia adalah perubahan peradaban. Dari proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang membentang dari Asia hingga Afrika, sampai pengaruhnya di PBB dan lembaga keuangan internasional, China menandingi tatanan dunia yang selama ini dikuasai Barat. Tapi bagi umat Islam, kebangkitan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah China membawa harapan baru, atau sekadar mengganti wajah dari dominasi lama?
China dan Ambisi Menjadi Kekuatan Dunia
Dalam 20 tahun terakhir, ekonomi China tumbuh rata-rata di atas 6% per tahun. Negara itu kini menjadi pabrik dunia, menyalurkan produk ke hampir semua negara. Dengan cadangan devisa lebih dari 3 triliun dolar AS, Beijing memiliki kekuatan finansial luar biasa untuk menginvestasikan pengaruhnya ke mana pun.
Lewat BRI, China membangun pelabuhan, rel kereta, jalan raya, dan infrastruktur energi di lebih dari 150 negara. Proyek ini bukan semata ekonomi, tapi juga strategi geopolitik untuk membangun "sabuk pengaruh" melawan hegemoni Barat.
Amerika menanggapinya dengan strategi Indo-Pacific Alliance dan perang dagang, sementara Uni Eropa menuduh Beijing melakukan praktik ekonomi tidak fair. Semua itu menunjukkan satu hal: kebangkitan China membuat Barat gelisah. Dunia kini menyaksikan kompetisi global antara dua kekuatan besar---kapitalisme Barat versus sosialisme China.
Dunia Islam di Tengah Dua Raksasa
Umat Islam, yang tersebar di antara kedua blok itu, kembali dihadapkan pada dilema geopolitik. Banyak negara Muslim berutang besar pada China melalui proyek BRI, dari Pakistan, Mesir, hingga Arab Saudi. Di sisi lain, hubungan dengan Barat tetap penting karena faktor teknologi, militer, dan diplomasi.
Namun, di balik proyek-proyek megah itu, tersimpan paradoks. China memang tampil dengan wajah tanpa intervensi politik, berbeda dengan Barat yang sering membawa agenda demokrasi dan HAM. Tapi rekam jejak China terhadap Muslim Uighur di Xinjiang menunjukkan wajah lain: penindasan yang dilakukan atas nama "stabilitas nasional".