Dalam maqashid syariah, setiap harta yang berada di tangan negara—apalagi hasil sitaan—seharusnya diarahkan untuk kemaslahatan umum. Selama barang itu aman, lolos uji mutu, dan tidak membahayakan, lebih utama bila dimanfaatkan: diberikan ke fakir miskin, lembaga sosial, pesantren, sekolah, atau dijual lewat lelang lalu uangnya disalurkan ke program sosial.
Membalik Pola Pikir
Coba bayangkan: bawang putih sitaan yang tadinya akan dibakar, ternyata setelah diuji layak konsumsi, lalu disalurkan ke dapur umum korban bencana. Bukankah itu lebih menenteramkan? Atau laptop sitaan yang masih berfungsi, diserahkan ke sekolah negeri di pelosok. Bukankah itu akan melahirkan generasi belajar lebih baik?
Dari barang bukti kriminal bisa lahir berkah sosial. Dari sitaan bisa tumbuh manfaat. Itulah cara pandang yang sesuai dengan nurani, juga sesuai dengan nilai Islam.
Reformasi yang Mendesak
Tentu saja, tidak semua barang bisa diselamatkan. Jika barang berbahaya, kadaluwarsa, atau terbukti melanggar standar keamanan, pemusnahan memang harus dilakukan. Tetapi yang masih layak, seharusnya jangan buru-buru dimusnahkan.
Diperlukan sistem yang lebih transparan:
- Barang sitaan diklasifikasi: layak pakai, tidak layak, berbahaya.
- Barang layak diuji mutu oleh lembaga terkait (BPOM, Kementan, BSN).
- Distribusi barang dilakukan terbuka, melibatkan lembaga sosial dan pemerintah daerah.
- Lelang dilakukan secara transparan, hasilnya masuk kas negara untuk program sosial.
- Audit independen agar tidak ada ruang bagi oknum bermain.
Dengan mekanisme seperti ini, negara bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga menghadirkan keadilan sosial.
Penutup
Membakar rokok ilegal mungkin memang perlu. Tetapi membakar bawang putih, beras, atau barang elektronik yang masih bisa dimanfaatkan jelas meninggalkan luka di hati rakyat. Apalagi jika di balik api pemusnahan tersimpan cerita miring tentang oknum yang ikut bermain.