Fenomena ini sesungguhnya berakar dari logika riba. Kapitalisme menjadikan uang seperti komoditas yang bisa “beranak” sendiri. Pemilik modal cukup menunggu bunga mengalir, sementara rakyat menanggung beban. Padahal, uang semestinya hanya berkembang bila dipakai dalam aktivitas nyata: berdagang, memproduksi, atau memberi jasa.
Islam menutup pintu riba dan menggantinya dengan kerja sama produktif: syirkah. Dalam syirkah, keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, kerugian ditanggung proporsional. Ada syirkah mudharabah, inan, abdan, wujuh, hingga mufawadhah. Intinya, dana dipaksa masuk ke sektor riil, bukan mengendap di lembar neraca. Bank dan pengusaha bermitra, berbagi risiko, dan sama-sama berjuang membangun usaha nyata.
Coba bayangkan, jika Rp 2.000 triliun itu benar-benar dialirkan ke sektor produktif. Betapa banyak lapangan kerja tercipta. Betapa banyak UMKM naik kelas. Betapa banyak keluarga terangkat dari jerat kemiskinan.
Penutup
Fenomena dana nganggur ini bukan sekadar statistik dingin di laporan OJK. Ia adalah potret getir bahwa sistem keuangan kita lebih sibuk menjaga kenyamanan bank daripada menjawab jeritan rakyat. Di balik angka Rp 2.000 triliun yang membeku, ada petani yang gagal panen karena pupuk tak terbeli, ada nelayan yang tak bisa melaut karena perahu rusak, ada UMKM yang gulung tikar karena tak punya modal berputar.
Selama bunga masih dijadikan ukuran, uang akan terus lebih betah beristirahat di kertas dan layar komputer daripada menghidupi pasar, sawah, bengkel, dan pabrik. Padahal uang hanyalah alat, ia baru bernilai ketika menggerakkan kehidupan.
Kini pertanyaannya menohok kita semua: sampai kapan kita membiarkan gunung uang itu membeku, sementara rakyat dibiarkan tercekik? Jika dana itu dialirkan ke sektor riil, ia bisa menjadi napas segar yang membangkitkan harapan, menegakkan martabat, dan menyelamatkan jutaan keluarga dari lingkar kemiskinan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI