Bayangkan ada gunung uang senilai lebih dari Rp 2.000 triliun. Besar sekali, bukan? Tapi ironisnya, gunung itu justru membeku di perbankan. OJK mencatat, kredit yang sudah disetujui bank tidak ditarik oleh debitur dan akhirnya mengendap. Padahal di luar sana, jutaan pelaku UMKM, petani, nelayan, dan industri kecil sedang terengah-engah mencari napas tambahan untuk bertahan.
Kontras inilah yang bikin miris. Ketika rakyat di sektor riil haus modal, dana superjumbo itu malah “tidur nyenyak” di sistem keuangan. Lalu siapa yang benar-benar diuntungkan dari situasi ini?
Bankir Cari Aman, Rakyat Tak Kebagian
Dari sisi bank, dana yang mengendap tetap harus diputar. Mereka tak bisa membiarkan uang hanya diam, karena tetap ada kewajiban membayar bunga kepada para deposan. Maka pilihan paling aman adalah menempatkan dana di surat berharga negara, obligasi BUMN, atau instrumen valuta asing. Logis dari kacamata manajemen risiko, tapi tetap meninggalkan tanda tanya besar: bagaimana dengan nasib rakyat yang membutuhkan modal nyata?
Di sinilah ketimpangan mencolok terlihat. Dana besar lebih mudah mengalir ke segelintir korporasi dengan agunan kuat. Sementara jutaan UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi harus puas dengan recehan. Logika kapitalisme jelas: satu pinjaman triliunan jauh lebih aman dan menguntungkan daripada ribuan pinjaman kecil penuh risiko.
Lebih parah lagi, dana yang tidak terserap sektor riil kerap dialihkan ke instrumen spekulatif. Saham, surat berharga, hingga transaksi valas lebih menarik bagi bank ketimbang menyalurkan kredit ke rakyat kecil. Sejarah bahkan pernah mencatat kasus dana bank dipakai sebagai alat permainan politik. Semua ini menegaskan wajah asli sistem kapitalisme: uang lebih nyaman diputar di atas kertas daripada dipakai menggerakkan ekonomi rakyat.
Padahal UMKM adalah penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia—lebih dari 97 persen. Mereka menjadi penopang ekonomi keluarga, bahkan ketika krisis moneter melanda. Tapi ironisnya, mereka justru paling sulit mengakses modal.
Petani harus rela menjual hasil panen murah karena tak sanggup membeli pupuk. Nelayan membiarkan perahu reyot tak terawat karena tak punya biaya. Industri kecil berjuang menutup ongkos produksi dengan segala keterbatasan. Sementara itu, dana triliunan rupiah hanya mondar-mandir di layar komputer bank, jauh dari kehidupan nyata.
Saatnya Dana Menghidupi, Bukan Menganggur