Warung Kopi: Masjid Kedua
Di banyak kota dan desa, warung kopi bukan sekadar tempat mengisi perut atau mengusir kantuk. Ia sudah menjelma jadi "masjid kedua", tempat orang bertemu, berdiskusi, bahkan berdebat. Dari meja kopi inilah sering lahir obrolan tentang politik, ekonomi, sampai agama.
Menariknya, suasana warung kopi biasanya lebih cair. Orang bisa bicara apa saja tanpa sungkan. Topik yang kaku di forum resmi, bisa mengalir ringan di atas meja kayu dengan gelas kopi hitam. Tak jarang, obrolan itu berubah jadi dakwah---meski tanpa disadari.
Dakwah Tak Selalu di Mimbar
Selama ini dakwah identik dengan khutbah Jumat, ceramah di masjid, atau kajian resmi. Padahal Rasulullah mengajarkan: "Sampaikan dariku walau satu ayat." (HR. Bukhari). Artinya, dakwah bisa hadir di mana saja, bahkan di warung kopi.
Ketika kita berbagi cerita tentang kejujuran, mengingatkan teman agar tidak menunda shalat, atau sekadar mengajak bersyukur atas rezeki kecil yang kiKta nikmati malam itu, semua itu sudah bagian dari dakwah. Tidak perlu pengeras suara, cukup ketulusan hati.
Obrolan Ringan, Pesan Dalam
Bayangkan: seorang kawan curhat tentang lelah bekerja seharian. Kita lalu menyelipkan nasihat bahwa sabar dalam bekerja bisa jadi ibadah. Atau ada teman yang resah soal utang, lalu kita mengingatkan tentang pentingnya qanaah dan menghindari riba.
Dari obrolan sederhana itu, ada nilai agama yang mengalir. Orang tidak merasa digurui, justru merasa diajak berbagi. Inilah kelebihan dakwah di warung kopi: tidak kaku, tidak formal, tapi mengena.
Menjembatani Ideologi
Bahkan isu besar sekalipun bisa dibicarakan santai di warung kopi. Misalnya soal keadilan sosial, kapitalisme, atau sistem ekonomi Islam. Tema yang berat di ruang kuliah bisa jadi cair ketika dibungkus dengan contoh sehari-hari: harga cabai, ongkos ojek online, atau utang cicilan motor.