Beberapa waktu lalu, saat membuka Facebook, saya menemukan sebuah tulisan yang dibagikan Ustaz Ahmad Syahri Thariq. Tulisan itu berisi terjemahan surat Sultan Aceh kepada Khalifah Abdul Hamid II, penguasa Turki Utsmani. Penasaran, saya coba membaca sampai tuntas. Tidak berhenti di situ, saya pun mencoba menerjemahkan ulang surat tersebut dengan bantuan aplikasi AI. Hasilnya? Sama persis dengan terjemahan Ustaz Ahmad Syahri Thariq.
Dari situ saya makin yakin, surat ini memang sangat penting. Isinya bukan sekadar salam diplomatik biasa, melainkan sebuah pengakuan bahwa Aceh dan Nusantara berada dalam naungan Khilafah Utsmaniyah.
Aceh, Serambi Mekkah yang Tegar
Sejak lama Aceh dikenal sebagai “Serambi Mekkah”. Julukan ini bukan hanya karena letaknya yang menjadi pintu gerbang jemaah haji, tapi juga karena perannya sebagai benteng Islam di Asia Tenggara. Saat Portugis menguasai Malaka abad ke-16, Aceh tampil sebagai penantang yang berani.
Dalam perjuangan itu, Aceh menjalin hubungan erat dengan Turki Utsmani. Di masa Sultan Alauddin al-Kahhar, utusan Aceh dikirim ke Istanbul untuk meminta bantuan. Sultan Sulaiman al-Qanuni merespons dengan mengirim meriam, senjata, dan pelatih militer. Sejak saat itu, Aceh memiliki artileri kuat dan hubungan politik langsung dengan pusat kekhalifahan.
Surat ke Khalifah Abdul Hamid II
Tiga abad kemudian, saat Belanda menggempur Aceh lewat perang panjang (1873–1904), Sultan Aceh kembali menoleh ke Istanbul. Surat resmi pun dikirim ke Khalifah Abdul Hamid II.
Isi suratnya menyentuh. Setelah basmalah dan salam kepada Nabi ﷺ, Sultan Aceh memuji Abdul Hamid sebagai khalifah kaum Muslimin, pelindung dua tanah suci. Ia kemudian mengadukan keadaan negerinya yang sedang dikepung Belanda. Namun yang paling menarik adalah ketika Sultan Aceh menegaskan bahwa Pulau Sumatra, Pulau Borneo (Kalimantan), dan Pulau Jawa adalah bagian dari Khilafah Utsmaniyah.
Dengan kata lain, Aceh tidak hanya berbicara untuk dirinya sendiri, melainkan juga atas nama Nusantara. Ini langkah diplomasi yang cerdas. Dengan menyebut Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, Aceh ingin memperlihatkan bahwa Belanda bukan sekadar menyerang sebuah kerajaan kecil di ujung Sumatra, tapi menantang kekuasaan global kaum Muslimin.
Sayangnya, Abdul Hamid II berada dalam kondisi yang sangat sulit. Turki Utsmani saat itu ditekan kekuatan Eropa: Rusia, Inggris, dan Perancis. Mengirim bala tentara ke Aceh hampir mustahil, karena akan memicu perang besar dengan Belanda.
Namun sang Khalifah tidak tinggal diam. Ia tetap mengirim utusan dan pengakuan resmi untuk Sultan Aceh. Dukungan moral ini penting. Ia memperkuat semangat rakyat Aceh bahwa mereka tidak sendirian. Pesan itu juga ditujukan kepada Belanda: lawan mereka bukan sekadar Aceh, tetapi bagian dari dunia Islam di bawah naungan Khilafah.