Ketika Anggaran Bicara
Di atas kertas, 20 persen APBN kita dialokasikan untuk pendidikan. Angkanya terdengar megah—triliunan rupiah mengalir setiap tahun. Tapi siapa sangka, di balik angka yang besar itu, tersembunyi jurang lebar antara mereka yang mendapatkan dukungan penuh dan mereka yang harus berjuang nyaris tanpa sokongan negara.
Saya pernah mengunjungi sebuah pesantren di pelosok Garut. Atapnya masih bocor di beberapa titik, perpustakaannya hanya rak sederhana berisi buku-buku lama, dan para gurunya mengajar dengan semangat yang luar biasa meski dengan honor  seadanya. Kebanyakan mereka mengajar karena semata ibadah menyampaikan ilmu. Begitu juga pondok yang saya asuh kondisinya tidak jauh berbeda. Malah sampai hari ini menempati  rumah pribadi pengurus.  Bandingkan dengan sekolah kedinasan di kota besar yang gedungnya megah, laboratoriumnya lengkap, mahasiswanya mendapat uang saku rutin.
Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang menjadi prioritas negara ini?
Fakta yang Sulit Dibantah
Data APBN 2024 menunjukkan bahwa alokasi anggaran sekolah kedinasan bisa mencapai puluhan juta rupiah per mahasiswa setiap tahun. Sementara bantuan untuk pesantren tradisional kerap jauh dari cukup, bahkan sering kali hanya mampu menutup sebagian kecil kebutuhan dasar.
Ini bukan sekadar perbedaan angka di tabel laporan keuangan. Ini adalah cermin dari ketimpangan akses dan kesempatan. Siswa di sekolah kedinasan berjalan di jalur mulus penuh fasilitas, sementara santri di pelosok harus menapaki jalan berbatu dengan bekal yang sangat terbatas.
Gambaran Nyata dalam Angka
Perbandingan sederhana berikut bisa memberi gambaran:
Keterangan: Estimasi dari berbagai sumber publik, menunjukkan perbedaan rata-rata anggaran per siswa/tahun antara sekolah kedinasan dan pesantren/madrasah.