Di era media sosial, pena kita ada di genggaman setiap saat. Kita menulis tanpa perlu tinta, membagikan tanpa perlu kertas. Namun, justru karena mudahnya menulis inilah, kita sering lupa memikirkan dampak jangka panjangnya.
Menulis sebagai Amal Jariyah
Amal jariyah adalah amal yang terus mengalir pahalanya meski pelakunya telah meninggal dunia. Menulis termasuk di dalamnya—jika isi tulisan itu membawa manfaat, kebenaran, dan mengajak kepada kebaikan.
Bayangkan, seorang guru yang menulis panduan tahfidz Al-Qur’an. Selama panduan itu dipakai dan diamalkan murid-muridnya, pahala akan terus mengalir, bahkan bertahun-tahun setelah sang guru wafat. Begitu pula seorang penulis yang menebarkan nasihat Islami di media sosial; selama nasihat itu dibaca, diingat, dan diamalkan, pahalanya tidak akan terputus.
Namun, sebaliknya, tulisan yang menyesatkan atau menimbulkan kerusakan juga akan terus “mengalirkan” dosa. Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa siapa saja yang memberi contoh keburukan, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.
Etika Kata dan Pena
Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan qaulan sadidan—perkataan yang benar, tepat, dan membangun. Ini adalah rambu agar setiap kata yang keluar dari lisan atau tulisan kita memenuhi tiga kriteria:
Benar secara fakta dan syariat – tidak mengandung kebohongan.
Bermanfaat – menambah pengetahuan, keimanan, atau kebaikan.
Layak dibagikan – tidak merugikan, merendahkan, atau memecah belah.
Sayangnya, di era kecepatan informasi, kita sering tergoda untuk membagikan sesuatu tanpa memverifikasi kebenarannya. Padahal, satu kabar bohong yang kita sebar bisa menjalar cepat, dan dosa itu tetap tercatat atas nama kita.