Buah Kecil, Cerita Besar
Hari itu saya hanya lewat di depan toko buah. Tak ada niat membeli. Tapi di antara tumpukan apel, salak, dan jeruk yang biasa, ada satu sosok kecil yang membuat saya berhenti: konyal—buah liar, manis segar, penuh nostalgia.
Sekilas bentuknya mirip markisa, tapi jangan tertipu. Kulit konyal lebih tipis, dagingnya kenyal, dan rasanya bukan asam menusuk seperti markisa, melainkan manis lembut yang menyegarkan. Bagi yang pernah tinggal di kampung-kampung pedalaman Jawa Barat atau Sumatera, buah ini mungkin tak asing. Tapi bagi dunia modern—ia nyaris tak dikenal.
Melihat konyal itu, saya teringat seorang kawan. Di depan rumahnya, pohon konyal menjulur liar, merambat melewati genting. Tiap musimnya, konyal selalu hadir sebagai suguhan. Ia bercerita, dulu konyal tumbuh di mana-mana tanpa pernah ditanam. Rupanya, bijinya tersebar lewat... kotoran anak-anak. Ya, anak-anak yang makan konyal, lalu buang hajat sembarangan—meninggalkan biji yang kelak tumbuh menjadi tanaman.
Kami menyebutnya dolbon, istilah Sunda untuk buang air besar di kebun. Suatu aktivitas lumrah di masa ketika WC masih langka. Tak disangka, dari kebiasaan "primitif" itu, lahirlah pohon buah yang manis. Dari najis, tumbuh yang segar.
Ketika Dolbon Lebih Bersih dari Istana
Cerita konyal dan dolbon ini menggelitik sekaligus menyentil. Karena ketika kita menganggapnya kampungan, mari kita lihat ke arah lain—ke Eropa abad pertengahan.
Kita sering memandang peradaban Barat dengan kekaguman. Mereka dianggap pelopor kebersihan, kesehatan, dan kecanggihan sanitasi. Namun sejarah bicara lain. Di masa kejayaannya, Eropa justru tenggelam dalam bau busuk yang luar biasa. Ratu Isabela dari Castile—tokoh besar yang bersama Raja Ferdinand mengusir umat Islam dari Spanyol—ternyata nyaris tidak pernah mandi seumur hidupnya. Ia hanya mandi dua kali: saat lahir dan saat menikah. Alasannya? Di masa itu, air dianggap berbahaya. Mandi bisa membuka pori-pori dan menyebabkan penyakit.
Bangsawan Prancis dan Spanyol bahkan rela memakai parfum menyengat hanya untuk menutupi bau badan. Jalan-jalan di kota besar seperti Paris dipenuhi limbah manusia, karena tak ada sistem pembuangan. Bahkan ada kebiasaan membuang kotoran dari jendela lantai dua ke jalanan.
Bandingkan dengan ajaran Islam yang bahkan dalam perkara buang hajat pun punya adab khusus: tidak menghadap kiblat, membersihkan diri dengan air, mencuci tangan, hingga berdoa setelahnya. Bersuci menjadi syarat sahnya ibadah. Mandi bukan sekadar kebiasaan, tapi perintah agama.
Peradaban Islam di masa yang sama—di Andalusia, Baghdad, dan Kairo—justru membangun sistem sanitasi, rumah mandi umum, hingga kanal bersih. Tak heran jika ilmuwan Islam seperti Al-Zahrawi dan Ibnu Sina menulis risalah kebersihan ratusan tahun sebelum Eropa mengenal sabun.