Hari ini, kami kehilangan seorang tetangga yang begitu kami hormati. Beliau dikenal sebagai pribadi yang istiqamah: tak pernah absen dari shalat berjamaah, rajin membersihkan masjid, dan selalu hadir dalam setiap pengajian. Beliau sosok yang bersahaja, rendah hati, dan peduli terhadap warga sekitar. Semasa hidupnya, beliau mengisi ruang ibadah dengan amal, dan mengisi ruang sosial dengan pelayanan. Ia adalah contoh dari kesalehan yang membumi.
Beberapa hari sebelumnya, dari kota, kami juga mendengar kabar wafatnya seorang tokoh ulama yang cukup dikenal secara luas. Beliau aktif dalam berbagai kegiatan keumatan dan juga pernah terlibat dalam panggung politik praktis. Pernah maju sebagai calon dalam pemilihan kepala daerah, dan selama hidupnya terus berjuang dengan caranya sendiri untuk menyuarakan nilai-nilai Islam.
Dua kabar ini membawa saya pada perenungan panjang. Tentang bentuk-bentuk kesalehan hari ini, dan bagaimana Islam seharusnya hadir di tengah masyarakat, bukan hanya sebagai ibadah personal, tapi juga sebagai solusi menyeluruh atas problem umat.
Kisah Lama yang Terasa Dekat
Perenungan itu membawa saya kembali pada sebuah cerpen yang saya baca puluhan tahun lalu: Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis. Cerita ini mengangkat latar sebuah surau tua di Minangkabau pada masa kolonial. Tokoh sentralnya adalah seorang kakek yang mengabdikan hidupnya untuk ibadah, menjauhi hiruk pikuk dunia, dan merasa sudah menjalani hidup yang benar sebagai bekal akhirat.
Namun segalanya berubah ketika Ajo Sidi, seorang warga yang pandai bercerita, menyampaikan kisah tentang Haji Saleh—seorang ahli ibadah yang ternyata justru masuk neraka. Mengapa? Karena Haji Saleh hanya fokus pada ibadah mahdhah: shalat, puasa, zikir, haji. Tapi sepanjang hidupnya, ia membiarkan bangsanya terjajah, tidak memperjuangkan umat, dan tidak peduli terhadap penderitaan rakyat.
Cerita Ajo Sidi menusuk hati si kakek. Ia mulai menyadari bahwa hidupnya mungkin tak jauh beda. Ia rajin beribadah, tetapi tidak pernah berusaha memperbaiki keadaan masyarakat. Ia menarik diri dari persoalan umat dengan alasan zuhud, tapi justru membiarkan penjajahan dan kezaliman merajalela. Tak lama kemudian, kakek itu ditemukan meninggal di belakang surau yang roboh—sebuah simbol kehancuran kesalehan yang tidak membuahkan perubahan sosial.
Relevansi dengan Hari Ini
Setelah puluhan tahun cerpen itu ditulis, ternyata realitas yang dikritik Navis masih hidup di tengah kita. Masjid-masjid kini berdiri megah. Pengajian ramai. Aktivitas keagamaan semakin banyak. Tapi, umat Islam tetap terpinggirkan dalam sistem kehidupan. Keadilan terasa jauh. Sistem hukum dan kebijakan sering kali berjalan tidak selaras dengan nilai-nilai Islam. Agama dihormati, tetapi dibatasi. Dihidupkan di ruang privat, tapi tak diberi ruang dalam pengambilan keputusan publik.
Sistem kehidupan kita saat ini lebih banyak ditopang oleh pendekatan pragmatis: apa yang menguntungkan secara ekonomi dan politis, itulah yang diutamakan. Dalam situasi ini, tidak sedikit tokoh Islam yang ikut masuk ke dalam sistem, berupaya berjuang dari dalam, namun sering kali justru terseret logika sistem itu sendiri. Tanpa disadari, peran ulama bisa bertransformasi menjadi pembenar kebijakan, bukan penyeru perubahan.
Kesalehan yang Membumi dan Berkesadaran