Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jemari yang Dipertanggungjawabkan: Antara Kritik, Dosa, dan Syariah di Era Media Sosial

2 Agustus 2025   06:20 Diperbarui: 21 Agustus 2025   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen tribunnews.com

Dalam masyarakat demokratis, kebebasan berpendapat adalah hak yang dijamin. Setiap orang bebas menyuarakan isi hatinya, termasuk mengkritik kebijakan pemerintah atau perilaku pejabat. Media sosial menjadi corong paling terbuka untuk itu. Siapa pun bisa mengunggah komentar, membagikan opini, bahkan menyerang balik kekuasaan tanpa sensor.

Namun, dalam pandangan Islam, kebebasan tidak berjalan tanpa batas. Setiap ucapan adalah tanggung jawab. Setiap kalimat yang keluar dari lisan—atau kini dari jari jemari—akan dihisab. Karena di balik kebebasan itu, ada pertanyaan besar yang kelak menanti: “Apa yang engkau tulis dengan tanganmu?”

Ketika Kritik Berubah Menjadi Hinaan

Perbedaan antara kritik yang membangun dan serangan yang menjatuhkan sering kali kabur. Apalagi di dunia digital yang serba cepat dan emosional. Tak jarang kita melihat komentar-komentar seperti:

Kalimat-kalimat semacam ini bukan lagi kritik, tetapi bentuk ad hominem—serangan terhadap pribadi, bukan terhadap gagasan atau tindakan. Bukan lagi bagian dari evaluasi kebijakan, tapi ledakan emosi yang memperkeruh ruang publik.

Syariat Mengatur Setiap Kata

Dalam Islam, tidak ada kata yang bebas nilai. Setiap perkataan adalah amal, yang tercatat oleh malaikat. Tidak semua komentar itu netral. Ada yang menjadi sebab pahala, ada pula yang membawa dosa besar.

Rasulullah ﷺ mengingatkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari:

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang diridhai Allah, tanpa ia sadari, maka Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang dimurkai Allah, tanpa ia sadari, maka kalimat itu menjatuhkannya ke dalam neraka Jahannam.”
(HR. Bukhari no. 6478)

Ini bukan ancaman kosong. Satu komentar yang tampak sepele bisa menghapus amal bertahun-tahun. Satu unggahan yang menyakiti tanpa alasan bisa menjatuhkan derajat seseorang di sisi Allah.

Belajar dari Umar bin Khattab

Dalam sejarah Islam, kritik terhadap pemimpin bukan hal yang tabu. Bahkan Khalifah Umar bin Khattab, seorang pemimpin besar, kepala negara pernah dikritik langsung oleh rakyatnya. Ketika beliau hendak membatasi mahar pernikahan, seorang perempuan bangkit dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau hendak melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah?”

Umar tidak marah. Ia tidak menuduh sang perempuan pembangkang atau tak tahu diri. Ia justru berkata, “Perempuan itu benar, dan Umar salah.”

Inilah teladan hisbah dalam Islam: rakyat yang berani menyampaikan pendapat dengan adab, dan pemimpin yang lapang dada menerima muhasabah.

Media Sosial: Ladang Amal atau Ladang Fitnah?

Hari ini, kritik tak lagi disampaikan langsung seperti di zaman Umar. Ia hadir dalam bentuk status, komentar, thread, dan video singkat. Tapi semangatnya seharusnya tetap sama: dilakukan dengan adab, ilmu, dan tanggung jawab.

Sayangnya, banyak yang menjadikan media sosial sebagai tempat melampiaskan dendam, bukan memperbaiki keadaan. Tanpa tabayyun, sebuah kabar dibagikan. Tanpa niat baik, sebuah tuduhan dilempar. Padahal yang membaca bisa ribuan, bahkan jutaan orang. Semakin luas jangkauan dosa, semakin berat pula hisabnya.

Penutup: Jemari yang Menyelamatkan atau Menjerumuskan

Media sosial adalah ladang besar. Ia bisa menjadi tempat menanam amal jariyah, atau justru menjadi tempat menumpuk dosa. Islam tidak melarang kritik, bahkan mendorong evaluasi terhadap kekuasaan. Tapi semua harus dijalankan dengan hati-hati. Karena setiap kata adalah pilihan. Dan setiap pilihan akan ditimbang di hadapan Allah.

Sebelum mengetik sebuah komentar, tanyakan pada diri sendiri: apakah ini bagian dari amar makruf nahi munkar? Atau sekadar pelampiasan emosi?

Karena bisa jadi, satu kalimat yang kita anggap ringan di dunia, adalah sebab tergelincirnya kita ke dalam Jahannam di akhirat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun