Dalam masyarakat demokratis, kebebasan berpendapat adalah hak yang dijamin. Setiap orang bebas menyuarakan isi hatinya, termasuk mengkritik kebijakan pemerintah atau perilaku pejabat. Media sosial menjadi corong paling terbuka untuk itu. Siapa pun bisa mengunggah komentar, membagikan opini, bahkan menyerang balik kekuasaan tanpa sensor.
Namun, dalam pandangan Islam, kebebasan tidak berjalan tanpa batas. Setiap ucapan adalah tanggung jawab. Setiap kalimat yang keluar dari lisan—atau kini dari jari jemari—akan dihisab. Karena di balik kebebasan itu, ada pertanyaan besar yang kelak menanti: “Apa yang engkau tulis dengan tanganmu?”
Ketika Kritik Berubah Menjadi Hinaan
Perbedaan antara kritik yang membangun dan serangan yang menjatuhkan sering kali kabur. Apalagi di dunia digital yang serba cepat dan emosional. Tak jarang kita melihat komentar-komentar seperti:
“Pantas saja begini, lihat saja mukanya.”
“Pemimpin apa ini, kerjaannya cuma pencitraan.”
-
“Dia itu bodoh, nggak tahu malu.”
Kalimat-kalimat semacam ini bukan lagi kritik, tetapi bentuk ad hominem—serangan terhadap pribadi, bukan terhadap gagasan atau tindakan. Bukan lagi bagian dari evaluasi kebijakan, tapi ledakan emosi yang memperkeruh ruang publik.
Syariat Mengatur Setiap Kata
Dalam Islam, tidak ada kata yang bebas nilai. Setiap perkataan adalah amal, yang tercatat oleh malaikat. Tidak semua komentar itu netral. Ada yang menjadi sebab pahala, ada pula yang membawa dosa besar.
Rasulullah ﷺ mengingatkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari: