Lalu Di Mana Letak Masalahnya?
Masalah muncul ketika makna toleransi diseret ke wilayah yang bukan miliknya—yakni saat keyakinan keagamaan dipaksa untuk “relatif”. Maka muncullah istilah pluralisme agama: sebuah paham yang menyamakan semua agama sebagai benar, seolah-olah tak ada satu agama pun yang lebih sah di sisi Tuhan dibanding yang lain.
Sekilas terdengar indah, sejuk, damai. Tapi jika ditelaah lebih dalam, pluralisme ini justru berpotensi menggerus keyakinan umat, melemahkan komitmen pada agama yang diyakininya, dan menjadikan agama sekadar identitas sosial, bukan keimanan yang hidup dalam dada. Islam jelas mengajarkan bahwa hanya Islam yang diridai Allah (QS. Ali ‘Imran: 19), namun Islam juga tak memaksa orang untuk memeluknya (QS. Al-Baqarah: 256). Inilah harmoni: meyakini kebenaran sendiri, tanpa merendahkan keyakinan orang lain
Dialog Bukan Doktrin, Ruang Bukan Paksaan
Saat kita membicarakan toleransi dan pluralisme, penting bagi kita untuk menempatkan keduanya dalam ruang dan makna yang tepat. Toleransi adalah jembatan untuk membangun dialog sehat antarumat beragama—bukan untuk saling menghakimi, melainkan saling memahami. Toleransi tidak boleh dijadikan alasan untuk menjadikan agama sebagai sumber perpecahan, namun juga tidak boleh dipakai untuk mengaburkan batas-batas akidah yang telah jelas. Hidup damai tanpa harus menggadaikan iman adalah bentuk toleransi terbaik. Dan Islam telah memberi contohnya sejak lebih dari 14 abad yang lalu.
Toleransi sejati bukanlah menyamakan semua agama, melainkan memberi kesempatan kepada setiap pemeluk agama untuk menjalani keyakinannya dengan tenang—tanpa gangguan, tanpa paksaan, dan tanpa menghilangkan jati diri. Karena itu, mari kita kembali kepada pemahaman toleransi yang hakiki: meyakini agama sendiri dengan sepenuh hati, sekaligus menghormati yang berbeda tanpa mencampuradukkan keyakinan.
Dalam perspektif Islam, toleransi tidak berarti harus ikut dalam prosesi atau ritual ibadah agama lain. Islam mengajarkan bahwa toleransi cukup dengan memberi ruang bagi mereka untuk menjalankan keyakinannya, tanpa mencampuri urusan ibadah mereka. Adapun ikut dalam doa bersama lintas agama atau prosesi keagamaan lain, bukanlah bentuk toleransi menurut syariat, melainkan hal yang berpotensi menimbulkan kerancuan dalam akidah.
Maka, kita perlu terus meluruskan pemahaman di tengah masyarakat: toleransi bukanlah mencairkan batas-batas keyakinan. Kita bisa hidup rukun dalam keberagaman, tanpa harus mencampuradukkan aqidah masing-masing. Di sinilah pentingnya edukasi, ketegasan prinsip, dan kelembutan dalam menyampaikan kebenaran.
Lalu, bagaimana menurut Anda?
Apakah batas toleransi dalam kehidupan beragama di negeri ini masih dijaga dengan baik, atau mulai kabur antara hormat dan ikut?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI