Mohon tunggu...
Muhammad Abdur Rotun N
Muhammad Abdur Rotun N Mohon Tunggu... lainnya -

travel Is My life

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Belajar Islam di Barat, Apa yang Dicari?

6 Mei 2013   07:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:02 2080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tak dipungkiri saat ini banyak perguruan tinggi di Barat menawarkan program studi Religious Islamic Studies. Sebut saja misalnya, Bonn University, McGill University, University of Leiden, Chicago University, Melbourne University, dan Hamburg University. Maka berbondong-bondonglah sarjana Muslim asal Indonesia ‘mengaji’ ke Barat.

Saat Munawir Sjadzali menjadi Menteri Agama, ada program pengiriman sarjana dan dosen IAIN untuk belajar Islam ke Barat. Kebijakan ini kemudian dilanjutkan oleh penggantinya Tarmidzi Taher. Keduanyatelah mengirim sekitar 200 sarjana IAIN ke berbagai universitas di Barat. Pada akhir Pelita saat itu, Indonesia diharapkan mempunyai 34 doktor dan 88 master di bidang keagamaan.

Dukungan dana dan fasilitas akedemik yang ditawarkan Barat telah meningkatkan gelombang kedatangan para sarjana Muslim kita. Arus ini makin menggelembung dengan adanya pendapat bahwa metode pengajaran di perguruan tinggi Islam di Timur, termasuk di Timur Tengah dan Indonesia, lemah. Hal ini disebabkan karena metodenya kerap didominasi oleh pendekatan normatif (dogmatis) dan kurang wawasan empiris-historis. Sementara Barat kaya akan ragam metode. Barat memperkenalkan metode penelitian empiris (seperti yang biasa dipakai dalam ilmu sosiologi dan antropologi agama), teori-teori baru serta pemikiran kontemporer dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, seperti “teori interaksi simbol” (symbolic interaction)-nya Herbert Mead, “teori tindakan komunikatif” (theory of communicative action)-nya Habermas, “arkeologi ilmu” (archeology of knowledge)-nya Foucault, “strategi dekonstruksi”-nya Derrida, dan “hermeneutic”-nya Gadamer.

Yang jadi masalah adalah sejauhmana mahasiswa Indonesia mampu menyaring informasi dan alih metodologi serta impor pemikiran yang rawan menjerumuskan iman mereka sendiri. Wakil Rektor Universitas al-Azhar, Thontho, Mesir, Prof Dr Ismail Abdel Nabi Abdel Gawad Sahin, melarang keras studi Islam di Barat. Larangan tersebut cukup masuk akal karena Islam tidak berasal dari Barat, jadi mengapa harus mencari Islam di tempat yang salah? Belajar Islam mestinya di Timur Tengah, tempat diturunkannya wahyu Allah dan dimulainya bibit pengajaran Islam oleh Rasulullah SAW. Apalagi, kita tahu bahwa semua iming-iming beasiswa dan kesuksesan itu adalah berasal dari mulut para orientalis yang hendak menghancurkan Islam. “Maka, jauhilah negeri tersebut, kecuali kamu siap menerima dan mengkritisinya. Karena jika tidak, akan berdampak buruk pada perkembangan Islam generasi penerus bangsa,” ujarnya.


Proyek kerjasama

Pengiriman mahasiswa Indonesia untuk belajar Islam ke Barat dimulai pada tahun 1950-an. Saat itu tiga orang mahasiswa: Harun Nasution, Mukti Ali, dan Rasjidi berangkat ke Barat untuk belajar. Merekalah yang mengawali studi Islam ke negeri Barat. Mereka dikirim belajar di McGill Institute of Islamic Studies (MIIS), Kanada, hasil dari program kerjasama antara Indonesia dan Kanada.

Keberangkatan mahasiswa Indonesia untuk kuliah atau penelitian Islam di negara-negara Barat, memang tidak terlepas dari kerjasama yang dijalin Indonesia dengan sejumlah negara Barat seperti Kanada, Australia, Jerman, dan Belanda. Kerjasama dengan Kanada, misalnya, dilakukan antara McGill University dengan IAIN dalam bentuk proyek Indonesia Canada Islamic Higher Education (ICIHEP). Proyek ini berjalan selama dua fase, 1989-1994 dan 1995-1999. Fase pertama (1989-1994) difokuskan pada pemberian beasiswa untuk pengembangan kapasitas staf pengajar di 14 IAIN di Indonesia. Fase kedua (1994-1999), difokuskan untuk memperkuat kapasitas kelembagaan UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta melalui pemberian beasiswa, penelitian gabungan (joint research), pengiriman dosen tamu (visiting professor), dan sejumlah pelatihan.

Di bawah proyek ICIHEP, lebih dari 90 dosen IAIN telah memperoleh beasiswa untuk menyelesaikan program master (S2) dan 11 dosen menyelesiakan program doktor (S3) di McGill University.

Kerjasama lainnya dijalin oleh Kementerian Agama RI dengan dua universitas di Jerman, yaitu Universitas Hamburg dan Universitas Leipzig. Ruang lingkup kerjasama, antara lain: beasiswa program doktor dalam bidang kajian Islam di Universitas Leipzig, program pertukaran dosen dan kerjasama penelitian, serta seminar bersama.
Di samping dengan universitas dari Jerman, Kementerian Agama juga mengadakan perjanjian kerjasama dengan universitas dari Australia dan universitas dari Belanda. Dengan Australia ditandatangani perjanjian Arrangement between the Australia-Indonesia Intitute of the Australian Department of Foreign Affairs and Trade and the Department of Religious Affairs of Republic of Indonesia in Relation to Partnership in Education and Training of Regional Islamic Institutions pada 9 Juni 2004 di Jakarta.

Perjanjian kerjasama ini menyelenggarakan program pelatihan pascasarjana untuk IAIN/STAIN di luar Jawa. Di antaranya pengiriman empat dosen IAIN/STAIN luar Jawa untuk mengikuti program pelatihan selama satu tahun di beberapa universitas di Australia.

Sementara itu perjanjian kerjasama dengan Belanda ditandatangani oleh Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam dan Rektor Universitas Leiden di Jakarta pada 26 April 2004. Di antara isi perjanjiannya adalah pengiriman mahasiswa Indonesia untuk belajar di Universitas Leiden dan program penelitian bersama bagi 14 tenaga pengajar perguruan tinggi agama Islam di Leiden University.

Menurut Dr Syamsuddin Arif, doktor yang sempat mukim di Jerman, tidak masalah jika ingin belajar ke negeri Barat. “Tapi bekali diri dengan ilmu dan iman yang kuat dulu,” ujar dosen Universitas Antar Bangsa Malaysia ini.

Kampus-kampus di Barat, lanjut dia, mempelajari Islam dengan framework (cara berfikir) orientalis. Cara orientalis mempelajari Islam ini sangat berbahaya, karena mereka mempelajari Islam bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk ilmu saja.“Islam dipelajari secara telanjang, tidak dengan iman,” ungkapnya.

Efek negatif belajar Islam di Barat adalah orang bisa menjadi skeptik (senantiasa meragukan), agnostik (selalu mencari tapi tidak pernah menemukan), pedantik (cenderung berbelit-belit), dan reduksionistik (suka mengerucutkan permasalahan). “Jika mereka yang belajar ke sana termasuk orang ignorant, jahil mengenal agamanya sendiri dan buta akan intelektual Islam, mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh hasil kajian islamolog Barat,” terang Syamsuddin.

Menurut alumnus Pondok Modern Gontor lulusan Jerman itu, metodologi Barat memiliki kerancuan. Karena itu, ilmu apa pun yang dipelajari dari Barat akan menghasilkan tashawwur,gambaran yang serupa. Tidak hanya belajar tentang Islam, belajar ilmu lainnya, seperti politik, sosiologi, filsafat, dan ilmu-ilmu humanitas lainnya yang dikaitkan dengan Islam, akan sampai pada kesimpulan yang sama. Yaitu, menempatkan Islam pada posisi sebagai “tertuduh” yang harus dihukum.

Jadi, mereka yang belajar politik Islam hanya bisa melihat gambaran-gambaran negatif dalam sejarah percaturan politik Islam. Mereka yang belajar sosiologi dan filsafat juga akan mendapatkan kesan-kesan negatif tentang masyarakat Islam dan sejarah pemikirannya.

Sementara itu, Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, lulusan Universitas Birmingham Inggris, mengatakan penyebab para mahasiswa Indonesia belajar ke Barat bukan semata-mata karena minat, tapi lebih karena ada peluang beasiswa yang ditawarkan. “Dana yang disediakan untuk belajar Islam di sana mengalir deras. Jadi karena ada kemudahan-kemudahan,” ujarnya.
Kemudahan yang dimaksud di antaranya adalah pemberian beasiswa selama studi. Sebagian besar mahasiswa Indonesia yang belajar Islam di Barat memang mendapatkan beasiswa selama menempuh studinya.

Ibnu Adam Aviciena, misalnya, memperoleh kemudahan ini. Lulusan IAIN Banten ini mendapatkan beasiswa S2 ke Universitas Leiden, Belanda. Selain tidak harus membayar uang kuliah, dia juga memperoleh uang saku. Selama 1,5 tahun di Belanda, ia mengaku mendapatkan uang saku sebesar 870 Euro (sekitar Rp 10 juta)per bulan. Namun, paparnya, itu belum seberapa dibanding dengan teman-temannya yang mendapat beasiswa di negara lain. “Jumlah yang saya terima relatif kecil dibandingkan dengan beasiswa di negara lain,” paparnya.

Belajar memang boleh di mana saja. Tapi seperti dikatakan Wakil Rektor al-Azhar Mesir, jangan sampai belajar Islam di Barat membuat seseorang kehilangan iman dan bahkan merusak keimanan umat Islam dan generasi penerus. Jangan sampai sepulang dari Barat mereka menjadi perusak akidah Islam. Sumber : http://bit.ly/13XhOws

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun