Mohon tunggu...
Maman Gantra
Maman Gantra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Tentang Pengaduan Warga Jakarta

20 Oktober 2017   18:40 Diperbarui: 20 Oktober 2017   19:05 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah menyebut-nyebut "hidupkan seluruh majelis-majelis yang ada di kota ini" dalam pidatonya seusai dilantik menjadi Gubernur DKI, Anies menegaskan akan melanjutkan tradisi menerima pengaduan warga yang dilakukan rezim Ahok selama ini. Bahkan, pengaduan warga pun akan sampai ke tingkat kelurahan dan kecamatan. "Anies mengatakan sistem pengaduan warga akan dibuka sampai ke tingkat kelurahan dan kecamatan. Dengan begitu, warga tidak harus jauh-jauh datang ke Balai Kota DKI setiap pagi," demikian yang dilaporkan sebuah portal berita (https://www.suara.com/news/2017/10/19/223916/terima-aduan-warga-jakarta-anies-mention-ahok).

Tentu saja, ini sangat menarik. Sebuah niat dan kebijakan yang bagus. Anies tak hanya memelihara hal baik yang dirintis dan diwariskan pendahulunya, tapi juga "menyempurnakan" dan "memperkayanya". Sampai di sini, Anies setidaknya menghalau mitos yang nyaris mentradisi selama ini: "ganti pejabat, ganti kebijakan". Mudah-mudahan sikap bijaksana ini juga berlanjut pada kebijakan dan tradisi rezim Ahok lainnya -- yang tentunya kebijakan dan tradisi yang baiknya, bukan yang "buruk"nya.

Masalahnya, terkait penyempurnaan sistem pengaduan warga, bagaimana kalau pengaduan itu terkait kinerja kelurahan atau kecamatan? Melapor kepada instansi di atasnya tentu menjadi satu-satunya pilihan.

Lebih dari itu, ini yang terpenting: Akankah sistem atau kebijakan ini efektif dalam menciptakan perubahan? Menciptakan keadaan yang lebih baik? Ahok yang demikian galak saja (saya tak memakai istilah tegas, sebagai upaya menekankan kesungguhan dia untuk melakukan perubahan itu, keadaan yang lebih baik itu) tak berhasil menciptakan perubahan yang signifikan. Terutama, di kampung saya -- Johar Baru, Jakarta Pusat. Lebih khusus lagi, perubahan yang saya maksud semata dalam hal yang "sederhana", standar, dasar, kasat mata, sekaligus salah satu ciri kemodernan: Kebersihan.

Kembali ke sistem pengaduan, selain pengaduan langsung ke Balaikota, dalam hal "tidak harus jauh-jauh", rezim Ahok juga menyediakan aplikasi Qlue sebagai sarana pengaduan sekaligus keterlibatan/kepedulian warga terkait masalah yang ada. Hanya, sejauh yang saya alami di kampung saya, penanganan atas pengaduan itu kerap kali tak memuaskan. 

Bahkan, melihat statistik yang disajikan Qlue: Persoalan kebersihan ini, dengan sampah sebagai eksponen utamanya, menempati jumlah laporan tertinggi untuk seluruh wilayah DKI. Berapa persisnya, silahkan tanya sendiri kepada pengelola Qlue. Yang ingin saya sampaikan di sini: Angka tersebut menunjukkan sampah atau kebersihan masih jadi masalah. Dan: Sistem pengaduan tersebut tak membuahkan perubahan signifikan.

Logika saya sederhana: Manakala sistem pengaduan itu efektif, maka angka laporan pun berkurang. Walau, berkurangnya tadi bisa juga disebabkan warga sudah apatis -- dalam arti kehilangan harapan -- untuk melapor atau untuk peduli. La, melapor untuk satu titik saja, yang juga menjadi tugas rutin mereka, kita harus melapor berkali-kali? Bukan mereka tak merespon laporan kita, dalam hal ini PPSU layak dipuji -- respon mereka cepat -- hanya kualitas penyelesaian laporannya itu yang tidak memuaskan. Lebih dari itu, esoknya, kitapun harus melaporkan hal serupa untuk titik atau lokasi yang sama, yang juga menjadi tugas rutin mereka.

Dan, cilakanya, ketika kita melapor secara langsung kepada Lurah pun, laporan kita hanya "diterima" atau "ditampung". Perubahan tetap saja tak terlihat atau terasa. Ujung-ujungnya, warga yang sejatinya menunjukkan kepedulian dan keterlibatannya dalam masalah yang ada di sekitarnya malah dianggap nyinyir atau malah "aneh" -- kalaupun tak dianggap gila atau sakit jiwa.

Intinya, yaitu tadi : Bagaimana sistem atau kebijakan itu benar-benar efektif dalam melakukan perubahan. Dan saya sreg benar dengan  apa yang dicangkan Presiden Jokowi: Perubahan mental! Dalam hal ini, bagaimana merubah mental aparat Pemprov DKI agar benar-benar laras dengan perubahan yang kita inginkan bersama. Jangan cuma sok prosedural, basa-basi...

Masih terkait mekanisme pengaduan, mungkin bisa saya tambahkan soal efesiensi cara penanganannya. Bahkan, mungkin, kejelian aparat dalam menangkap esensi pengaduan tersebut. Di mana, di dalamnya terselip soal koordinasi dan komunikasi antar aparat -- baik yang bersifat vertical maupun horizontal.

Banyak pengaduan, yang sebenarnya sudah selesai ketika sampai meja para staf di teras Balaikota itu, tapi masih juga dianggap belum ditangani atau tertangani. Sehingga harus dibahas lagi di level atas, dengan melibatkan pihak-pihak terkait -- termasuk melibatkan warga yang mengadu.

Berapa banyak persisnya kasus-kasus pengaduan seperti itu, silahkan tanya staf Pemprov DKI yang selama ini menangani pengaduan warga tersebut. Sekaligus, evaluasi juga apakah model atau mekanisme seperti ini cukup efektif -- juga efisien?

Salah satu contoh kasus, sebagaimana yang kami alami terkait pembangunan RPTRA Johar Berseri. Semula, kami menolak program tersebut. Dan saya merupakan orang pertama sekaligus paling keras menolak "rencana" itu. Bukan kepada tujuan atau konsep RPTRA-nya sendiri. 

Melainkan, soal kebijakan atau menentukan prioritas program (kalaupun program yang saya maksud itu memang ada). Saya melihat, penataan ulang kawasan RW kami khususnya, kawasan Johar Baru dan sekitarnya umumnya, bahkan kampong-kampung padat lebih umumnya, merupakan kunci utama dalam menyelesaikan masalah yang ada. Baik masalah kesejahteraan, pendidikan, minimnya fasilitas umum, pun apa yang disebut sebagai masalah sosial.

Bagi saya, dengan mengamini pembangunan RPTRA itu, pemerintah semakin lalai dengan persoalan mendasar tersebut. Karena itu, saya menyebut program tersebut tak lebih dari permen. (Alasan penolakan saya selengkapnya, silahkan baca di sini: kompasiana.com/mamangantra)

Namun belakangan, bahkan sebelum Sosialisasi II, sikap kami itu sudah berubah. Kami, saya khususnya, memahami bahwa program itu sudah "dikunci", sementara rezim Ahok pun sudah tak memiliki waktu lagi. Pembangunan RPTRA itu memang harus dilakukan di lokasinya sekarang, karena memang tak ada tempat lain yang lebih memungkinkan. Isupun bergeser: Bisakah RPTRA itu terbagi dua, sehingga lokasi yang ada sekarang itu tetap menjadi ruang terbuka -- tanpa ada bangunan apapun di atasnya? Sementara, bangunan ditempatkan di lokasi lain yang menurut kami ketika itu lebih pas dan tak terlalu jauh dari lokasi sekarang.

Merasa mentok, kamipun mengadu ke Gubernur. Dan ketika kami diterima petugas di meja pengaduan, sebelum bertemu langsung dengan Gubernur, yang bersangkutan memberikan penjelasan yang sangat masuk akal : RPTRA itu satu kesatuan lokasi, tak mungkin terpisah. Dan kami menerima penjelasan tersebut. Masalah RPTRA kami anggap selesai.

Bahkan, ketika Walikota Jakarta Pusat melakukan peninjauan ke lokasi pun, sebelum kami menghadap Gubernur, ihwal sikap warga itu saya sampaikan secara tegas: Kami tak keberatan dengan rencana pemprov tersebut. Kalaupun sebelumnya kami keberatan, karena kami -- khususnya saya -- pemerintah seharusnya terlebih dahulu melakukan penataan ulang besar-besaran terhadap kawasan ini. Sehingga, tak hanya semua fasilitas umum bisa dipenuhi. Rumah warga pun lebih manusiawi, jauh lebih luas dari rumah yang ditempati selama ini.

Tapi, sekitar dua minggu setelah menghadap Gubernur, kami mendapat undangan untuk menghadap Irda. Saya mengira, panggilan itu terkait dengan soal adanya tagihan PBB atas nama perseorangan untuk lahan yang akan dibangun RPTRA itu, yang memang kami lampirkan dalam pengaduan kepada Gubernur tempo hari. Dengan kata lain, Pemprov DKI dibawah rezim Ahok ini -- walau Ahoknya sendiri sudah tak lagi menjabat Gubernur -- memang committed untuk mengamankan asset negara. Aset pemprov. Setidaknya, demikian pikir saya ketika itu, pemprov berniat menertibkan persoalan administrasi (dan hukum) terkait asset mereka. Dan kami akan dimintai keterangan lebih jauh terkait itu.

Tahunya, pertemuan itu lagi-lagi membahas soal pembangunan RPTRA!

Sebagai warga, saya tentu saja salut dengan "keseriusan" pemprov dalam menangani pengaduan kami itu. Selain Lurah dan Camat, juga Kepala Sudin Perumahan dan entah apa namanya unit yang membawahi soal RPTRA ini, sampai Asda dan Irda ikut "membahas"-nya. Bahkan, konon, tadinya Walikota Jakarta Pusat pun akan ikut hadir pula!

Tapi, di sisi lain, yaitu tadi: Efesienkah semua ini? Toh, bagi kami, masalahnya sudah selesai. Rela atau tidak rela, RPTRA itu harus dibangun di lingkungan kami. Silahkan... Bagi kami, tinggal bagaimana meng-optimalkan fasilitas itu demi kebaikan semua orang. Sekaligus, bagaimana meminimalkan dampak buruk akibat "serbuan" warga luar terhadap lingkungan kami.

La, ini? Apa Lurah atau Camat tak memantau perubahan sikap kami yang sebenarnya cukup gamblang itu? Kalaupun iya, apakah mereka tak menyampaikannya kepada instansi di atasnya, sehingga bisa mencegah inefisiensi seperti itu? Kalaupun pertemuan itu harus terjadi, kenapa tak membahas soal adanya tagihan PBB tadi? Atau, kalaupun masih mau terkait RPTRA, kenapa tak membahas hal yang lebih teknis dan detail?

Tapi, ah..sudahlah. Toh, saya memaparkan (kembali) semua itu semata untuk mengkaji kembali efektivitas dan efesiensi dari mekanisme pengaduan yang ada selama ini. Baik yang terkait pengaduan via Qlue maupun pengaduan langsung ke Balaikota itu. Bahkan, sebenarnya, saya juga ingin mengingatkan pengaduan atau keterlibat/kepedulian warga yang disampaikan media massa -- baik yang konvensional maupun via internet: Adakah pengaduan yang ada cukup efektif dalam melaksanakan perubahan atau perbaikan? Atau, semua itu hanya basa-basi berbalut prosedur, hukum, ketiadaan anggaran, dan setumpuk alasan yang semata kilah bagi kemalasan, rendahnya komitmen, dan minimnya visi pemerintah -- hal yang sebenarnya sangat mustahil?

Please dong deh, ah... Jangan sampai semua kerepotan ini, termasuk perjuangan kakek-kakek kita, menjadi sia-sia adanya...

Krajaba, 20 Oktober 2017

Tulisan ini juga diposting menjadi dua bagian di dinding facebook saya: https://www.facebook.com/MamanGantra/posts/528498597498359 dan https://www.facebook.com/MamanGantra/posts/528583190823233

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun