Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Jangan Anggap Sepele Fase "Hampa" Pernikahan

10 November 2021   12:00 Diperbarui: 14 November 2021   14:51 1264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jangan anggap sepele fase hampa pernikahan (Foto : pixabay.com)

Fase "hampa" dalam pernikahan adalah wajar, namun jangan dianggap sepele karena bisa berakibat fatal.

Kehidupan pernikahan yang kokoh tidak terjadi dengan sendirinya. Semua harus diperjuangkan oleh kedua belah pihak. Jatuh-bangun dalam pernikahan itu hal yang biasa.

Akan tetapi, pernahkah Anda merasa ada yang berbeda, ada yang aneh, dan ada yang tak biasa saat menjalani pernikahan? 

Pernikahan serasa "hampa" dan tak seindah dan semenarik seperti saat di awal pernikahan?

"Kok pernikahan saya gini-gini aja?" Atau mungkin "Oh, ternyata pernikahan begini... dia kok nggak semanis dulu?"


Seringkali juga seseorang merasa kesepian, merasa "sendiri" padahal punya pasangan. Pernah merasakan hal seperti ini? Itulah fase "hampa" dalam pernikahan.

Tapi tenang, ternyata fase hampa dalam pernikahan adalah wajar dan hampir semua orang merasakannya dalam pernikahan. 

Itulah yang saya tangkap ketika mengikuti obrolan Parentalk bersama ibu Rani Anggraeni Dewi, seorang konselor pre marital dan couple relationship.


Mengenal Fase Hampa dalam Pernikahan

Awalnya saya tertarik dengan istilah "fase hampa". Hampa seperti apa sih? Ternyata bukan seperti lagunya Ari Lasso "Entah di mana, dirimu berada... Hampa terasa hidupku tanpa dirimu..." yang lebih ke sebuah cinta dan kerinduan.

Hampa yang dimaksud adalah benar-benar hampa dalam arti harafiah, di mana rasanya kosong, datar, hambar. Seperti ada yang hilang dalam sebuah hubungan.

Menurut penjelasan bu Rani, fase hampa biasanya terjadi setelah punya anak, pasangan yang sama-sama sibuk, dan atau usia pernikahan yang sudah lama. 

Bisa juga terjadi lebih cepat pada pasangan yang pacaran lama dan hubungan yang layaknya pasutri sebelum menikah, dan atau yang pacaran cuma sebentar.

Nah, yang saya tangkap bahwa fase hampa ini bisa terjadi pada siapa saja dan bisa muncul pada semua tahap pernikahan. Banyak faktor yang mempengaruhi. Bahkan menurut penelitian, bisa berulang setiap 5 tahun sekali.

Jangan Dianggap Sepele

Fase hampa sebenarnya tak selalu berarti negatif. Ada sisi positifnya juga untuk wadah pertumbuhan dalam mencapai kebahagiaan pernikahan. Akan tetapi, masing-masing orang harus menyadarinya supaya tidak dipendam, ditumpuk, dan dibiarkan berlarut-larut.

Ada kisah dari orang yang saya kenal, sebut saja Boni (nama samaran) sudah lama menikah dan anak-anak sudah besar dan kuliah. 

Istrinya seumuran dan menjelang menopause. Boni makin rajin dan betah kerja tapi di kantor selalu marah-marah dengan bawahannya. 

Tanpa disadari sebenarnya Boni mengalami fase hampa, di mana hubungan dengan istri datar dan tak lagi semanis dulu.

Singkat cerita, di kantor Boni bertemu dengan perempuan yang lebih muda bernama Bebi (nama samaran). Sama seperti Boni, Bebi juga merasa pernikahannya datar dan membosankan. Ada masalah relasi dengan suami dan tuntutan keluarga yang tidak bisa dipenuhi. Bisa jadi Bebi sudah putus asa dengan pernikahannya.

Ibarat tumbu ketemu tutup, mereka saling merasa nyaman dengan sering pergi berdua. Klop! Selanjutnya, sudah bisa diduga apa yang terjadi. Ya, terjadilah hubungan manis terlarang! Hal ini cukup mengagetkan karena tak disangka keduanya senekat itu.

Dari kisah tersebut, saya jadi setuju bahwa fase hampa ini harus cepat-cepat disadari dan diatasi. Jangan pernah menganggap sepele karena bisa menjadi celah yang membahayakan.

Terkadang kita berpikir, sudah tua juga masa harus romantis lagi? Sementara suami sibuk dengan urusan usaha atau pekerjaan di kantor, istri sibuk mengurus anak. Nyaris tak ada lagi komunikasi sehat dengan pasangan. Padahal komunikasi yang sehat adalah nutrisi bagi pernikahan.

Dari penjelasan bu Rani juga, fase hampa pun bisa datang ketika kehidupan pernikahan berjalan baik namun datar. Anak-anak tak bermasalah, karir dan usaha oke, materi juga lebih dari cukup. Ada semacam kejenuhan dengan kondisi yang datar. Kalau boleh saya bilang fase ini seperti fase dimana jenuh karena tak ada riak dan tantangan.

Kalau yang bersangkutan cukup bijak, mungkin akan menggunakan "pelarian" yang positif, misalnya mengerjakan hobi-hobi, sekolah lagi, ikut kursus, fokus pada karir, dan aneka rupa pengembangan diri. 

Namun jika tidak, bisa melakukan pelarian seperti kisah Boni dan Bebi (bagi saya menyedihkan karena keduanya sudah sama-sama menikah).

Langkah untuk Mencegah dan Mengatasi Fase Hampa

Berdasarkan penjelasan dari bu Rani, ada 6 hal yang bisa dilakukan oleh pasangan untuk mencegah dan juga mengatasi fase hampa.

Berikut cara dan langkah yang bisa diambil :

1. Memegang komitmen atas janji pernikahan. Pernikahan bisa tetap tegak ketika masing-masing teguh dengan komitmen untuk saling mengasihi. Jika tidak, pasti akan mudah goyah karena ini dan itu.
2. Kompromi dengan pasangan. Dalam hal apapun, usahakan berkompromi dengan pasangan. Turunkan ego dan cari solusi bersama.
3. Selingi dengan humor dan canda. Tertawa bersama pasangan itu baik dan menyehatkan. Jangan sampai kita kehilangan selera humor. Bahkan ketika ada masalah, jika kita marah dan ngegas terus, lama-lama pasangan juga malas. Nanti kalau doi cari yang unyu-unyu gimana?
4. Komunikasi yang sehat. Sering mengobrol, bercakap-cakap, dan diskusi dengan pasangan. Bisa dengan pillow talk. Seringkali setelah menikah, kita sibuk dengan urusan sendiri, lupa ngobrol dengan yang di sebelah.
5. Bersikap kreatif dengan melakukan hal-hal yang diluar kebiasaan. Misalnya, staycation atau dinner romantis, beres-beres rumah bareng, dan atau variasi hubungan intim.
6. Lakukan ritual bersama, misalnya bersepeda bareng, sarapan pagi bareng dan seterusnya.

Kalau menurut saya, cara tersebut sebenarnya mudah dan sederhana. Hanya saja seringkali kita anggap lebay atau berlebihan, sepele, dan atau tidak penting (termasuk oleh saya sendiri).  

Hmmm.. ternyata merawat pernikahan itu berawal dari hal kecil dan sederhana ya?

Semoga bermanfaat. Salam hangat selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun