Menjelang Ramadan, suasana religius mulai terasa. Masjid ramai dengan pengajian, media sosial dipenuhi jadwal ceramah, dan berbagai ustaz bermunculan dengan beragam gaya dakwah. Namun, di tengah persiapan spiritual ini, sebuah kontroversi menghangatkan perbincangan: pengajian Gus Iqdam di Pacitan yang menggunakan musik DJ sebagai pembuka. Cek video di kanal Youtube Pemkab Pacitan Menit 32:53 di sini.
Alih-alih mendekatkan agama kepada generasi muda, hal tersebut justru justru menandakan esensi dakwah semakin bergeser menjadi sekadar hiburan.
Kasus yang terjadi di hari ulang tahun Kabupaten Pacitan itu langsung memicu gelombang kritik di media sosial. Ada yang mendukung pendekatan ini karena dianggap lebih efektif menjangkau generasi muda yang mungkin kurang tertarik dengan ceramah konvensional. Namun, tak sedikit yang menganggapnya sebagai bentuk komersialisasi agama yang berlebihan.
Dalam sekejap, perdebatan ini berubah menjadi cancel culture: tagar, boikot, dan kecaman bertebaran, membuat acara pengajian ini lebih ramai diperbincangkan daripada substansi ceramahnya sendiri.
Cancel culture di dunia dakwah bukan fenomena baru. Sebelumnya, beberapa ustaz dengan ceramah yang dianggap kontroversial akhirnya diboikot atau dicabut undangannya dari acara tertentu. Dulu, kontroversi dalam pengajian biasanya terbatas pada lingkup kecil dan hanya diperbincangkan oleh kelompok tertentu.
Kini, dengan adanya media sosial, segala sesuatu bisa viral dalam hitungan jam. Dakwah yang dianggap menyimpang atau tidak sesuai dengan norma bisa langsung dihujani kecaman.
Di satu sisi, cancel culture ini bisa menjadi alat kontrol sosial. Masyarakat memiliki hak untuk mengkritisi penceramah atau acara pengajian yang mereka anggap menyimpang. Ini adalah bagian dari kebebasan berpendapat dan cara alami bagi publik untuk menjaga nilai-nilai agama agar tidak disalahgunakan.
Di sisi lain, banyak juga yang memanfaatkan fenomena ini untuk sekadar mencari sensasi atau menyerang pihak tertentu tanpa memahami duduk perkaranya secara menyeluruh.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana cancel culture bisa menghambat kebebasan berdakwah. Ustaz atau penceramah bisa saja menjadi ragu untuk berbicara jujur karena takut diserang oleh kelompok yang tidak sependapat.Â
Padahal, perbedaan pendekatan dalam berdakwah itu wajar. Tidak semua orang cocok dengan gaya ceramah yang serius dan kaku. Ada yang lebih nyaman dengan ceramah santai, penuh humor, bahkan menggunakan unsur hiburan seperti musik.
Tetap ada batasan yang harus dijaga. Dakwah, bagaimanapun juga, tidak boleh kehilangan esensi utamanya sebagai ajakan kepada kebaikan. Jika terlalu banyak unsur hiburan yang masuk, lama-lama pengajian bisa berubah menjadi sekadar tontonan tanpa makna. Bukan berarti kita harus menolak semua bentuk inovasi dalam dakwah, tetapi perlu ada keseimbangan antara pendekatan modern dengan nilai-nilai dasar dalam agama.
Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana agama semakin menjadi komoditas. Pengajian tidak hanya soal menyampaikan ajaran, tetapi juga soal branding, jumlah penonton, dan engagement di media sosial. Penceramah yang mampu menarik banyak perhatian bisa lebih sering diundang dan mendapatkan panggung yang lebih besar. Akibatnya, banyak yang berlomba-lomba membuat pengajian yang lebih "menjual" bahkan jika itu berarti memasukkan elemen yang kontroversial.
Menjelang Ramadan, perdebatan seperti ini kemungkinan besar akan semakin sering muncul. Setiap acara keagamaan yang sedikit berbeda dari norma bisa menjadi bahan perbincangan panas.
Namun, yang perlu kita tanyakan adalah: apakah kita benar-benar peduli dengan substansi dakwah, atau hanya sibuk mencari bahan kontroversi baru untuk diperdebatkan? Jangan sampai kita lebih heboh mengomentari musik DJ di pengajian daripada memahami isi ceramah yang disampaikan.
Cancel culture dalam pengajian seharusnya tidak hanya sekadar membatalkan atau mengecam sesuatu yang dianggap salah. Seharusnya, ini menjadi momen refleksi bagi kita semua: apakah kritik yang kita berikan benar-benar berdasar, atau hanya ikut-ikutan tren? Jika ingin mengkritisi sesuatu, lakukan dengan argumen yang kuat dan pemahaman yang jelas, bukan sekadar karena ingin terlihat vokal di media sosial.
Apakah pendekatan dakwah dengan musik dan hiburan bisa diterima, atau justru merusak esensi agama? Yuk, bagikan pendapat Anda di kolom komentar!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI