Mohon tunggu...
Malikaaa
Malikaaa Mohon Tunggu... Penulis Komunal

Menulis tentang hal-hal umum, dari yang ringan hingga serius, agar tidak ada cerita dan pemikiran yang tertinggal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengajian Rasa Dugem: Ketika Dakwah Bertemu Musik DJ

17 Februari 2025   17:00 Diperbarui: 17 Februari 2025   00:53 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Foto: Tangkapan Layar Kanal Youtube Pemkab Pacitan)

Tetap ada batasan yang harus dijaga. Dakwah, bagaimanapun juga, tidak boleh kehilangan esensi utamanya sebagai ajakan kepada kebaikan. Jika terlalu banyak unsur hiburan yang masuk, lama-lama pengajian bisa berubah menjadi sekadar tontonan tanpa makna. Bukan berarti kita harus menolak semua bentuk inovasi dalam dakwah, tetapi perlu ada keseimbangan antara pendekatan modern dengan nilai-nilai dasar dalam agama.

Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana agama semakin menjadi komoditas. Pengajian tidak hanya soal menyampaikan ajaran, tetapi juga soal branding, jumlah penonton, dan engagement di media sosial. Penceramah yang mampu menarik banyak perhatian bisa lebih sering diundang dan mendapatkan panggung yang lebih besar. Akibatnya, banyak yang berlomba-lomba membuat pengajian yang lebih "menjual" bahkan jika itu berarti memasukkan elemen yang kontroversial.

Menjelang Ramadan, perdebatan seperti ini kemungkinan besar akan semakin sering muncul. Setiap acara keagamaan yang sedikit berbeda dari norma bisa menjadi bahan perbincangan panas.

Namun, yang perlu kita tanyakan adalah: apakah kita benar-benar peduli dengan substansi dakwah, atau hanya sibuk mencari bahan kontroversi baru untuk diperdebatkan? Jangan sampai kita lebih heboh mengomentari musik DJ di pengajian daripada memahami isi ceramah yang disampaikan.

Cancel culture dalam pengajian seharusnya tidak hanya sekadar membatalkan atau mengecam sesuatu yang dianggap salah. Seharusnya, ini menjadi momen refleksi bagi kita semua: apakah kritik yang kita berikan benar-benar berdasar, atau hanya ikut-ikutan tren? Jika ingin mengkritisi sesuatu, lakukan dengan argumen yang kuat dan pemahaman yang jelas, bukan sekadar karena ingin terlihat vokal di media sosial.

Apakah pendekatan dakwah dengan musik dan hiburan bisa diterima, atau justru merusak esensi agama? Yuk, bagikan pendapat Anda di kolom komentar!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun