Pernahkah kita mendengar atau paling tidak malah mengucapkan kata-kata seperti ini: "Negara kita ini miskin, dari dulu nggak maju-maju."Â
Apakah yang dikatakan ini sesuai dengan apa yang ada di lapangan? Menurut saya sih, tidak. Jika kita melihat kemiskinan hanya berdasarkan data-data yang dipresentasikan oleh IMF atau Bank Dunia, tentu hal ini berkaitan dengan pendapatan per kapita penduduk di Indonesia, di mana kita paham bahwa kategori miskin atau kaya begitu mudah untuk direkonstruksi sesuai dengan keinginan pembuat nilai itu.
Kembali pada pemahaman saya sebagai manusia kebanyakan dan tidak menggunakan standar penilaian dari IMF atau Bank Dunia, di mana kita tahu bahwa negeri kita ini loh jinawi. Seperti dalam lagu karya Koes Plus, tanah kita tanah surga, kayu dan batu jadi tanaman. Dan fakta memang membuktikan bahwa semenjak ribuan tahun lalu hingga saat ini, negeri kita adalah tanah yang kaya. Kaya akan kesuburan tanahnya, laut yang didiami oleh jutaan makhluk di dalamnya yang terus menerus dieksploitasi dan gak pernah habis.Â
Begitu pula dengan aneka tambang yang ada di tanah kita, hampir semua ada. Bahkan jika kita melihat negara-negara lain penghasil tambang, di negeri ini menjadi salah satu pemasok sumber daya alam yang melimpah. Semua itu adalah bukti bahwa negeri kita adalah negara kaya. Bahkan jika akan digunakan sampai keturunan terakhir dari anak cucu kita, kekayaan itu tidak bakalan habis.Â
Jika semua itu tidak dianggap kaya, apalagi yang harus ditunjukkan ke khalayak dunia, bahwa kita adalah negara kaya raya. Terlepas apakah kekayaan itu masih ada atau semakin menipis, tentu hal ini hanya pihak-pihak yang mengelola yang tahu persis kondisi di lapangan.
Penyebutan miskin bagi Indonesia adalah sebuah tindakan yang memalukan
Percaya atau tidak, kita tidak akan mau dianggap miskin. Mengapa? Karena penyebutan miskin itu adalah sebuah penilaian yang amat rendah bagi orang lain. Bayangkan saja, negara yang sejatinya kaya, tiba-tiba dicap sebagai negara miskin di hadapan penguasa atau pejabat negara lain, tentu ini akan menjadi nilai dan citra buruk bagi sebuah negara.Â
Apakah kita akan justru bangsa jika negara lain yang "merasa" kaya semakin merendahkan kita? Enggak, kan? Bahkan stigma negatif sebagai negara miskin itu semestinya dijauhi dan dilawan. Dan dengan tegas, kita katakan bahwa negeri kita ini "Kaya Raya". Tidak ada yang boleh menyebut bahwa kita miskin. Dengan menyebut negeri yang loh jinawi ini miskin, berarti telah merendahkan harkat dan martabat negeri kita di hadapan dunia.
Belum lagi pada anak cucu kita kelak, apa yang akan dibanggakan bagi mereka? Menjadi negara miskin yang terus disebut di forum-forum resmi dan menganggap bahwa negeri kita ada di kelas tiga? Apa untungnya bagi anak cucu kita, selain penilaian negatif yang semakin merendahkan.
Satu pernyataan atau ungkapan sejatinya adalah doa. Bahkan disinyalir, apa yang kita yakini dan ucapkan hakekatnya akan menetap jauh dalam pikiran dan hati kita. Semua itu akan benar-benar terwujud dalam kehidupan nyata. Mudah sekali kita temukan, orang-orang yang selalu merasa miskin, maka dalam pikiran dan jiwanya akan terbentuk perilaku orang miskin. Kenapa? Ia merasa tidak punya tenaga untuk bekerja dengan cara yang baik, merasa tidak punya kemampuan berpikir untuk menghidupi kebutuhan hidupnya. Efek buruknya lagi, orang-orang yang bermental miskin akan selalu merasa kekurangan dan rendah rasa syukurnya. Dampaknya, kehidupan yang harus dibentuk dengan rasa syukur dan keridhoan, akhirnya dihiasi dengan keluh kesah dan rasa tak berdaya.Â
Begitu juga sebuah negeri yang rakyatnya telah memiliki segalanya. Tanahnya subur makmur, bukannya kita bisa mengolahnya dengan baik agar bisa bermanfaat bagi kehidupan, justru menelantarkannya dan menganggapnya tidak bermanfaat. Lucunya, memiliki tanah yang luas itu bukannya membuat semakin pandai mengelola agar berdaya guna, tapi meratapi, kenapa kita selalu dicap miskin. Padahal sejatinya kaya, tapi karena merasa miskin, kehidupannya akan terus miskin. Menurut para ahli kejiwaan, mengelola pikiran yang baik akan membawa pemiliknya menjadi kaya. Kaya bukan berarti memiliki banyak harta, tapi kesehatan fisik dan kehidupan yang nyaman bisa dianggap kaya--kaya batiniah.
Nah, masalahnya, kita memiliki semua kekayaan yang berlimpah itu ternyata dinikmati oleh orang-orang yang bermental miskin. Sedangkan masih banyak orang miskin yang sejatinya bermental kaya. Sekian lamanya kita memiliki kekayaan, ternyata hanya dinikmati oleh orang-orang yang bermental miskin tadi. Seluruh hidupnya dihabiskan untuk menikmati kekayaan yang seharusnya dikelola oleh negara dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat merupakan satu indikator bahwa kita pantas disebut kaya, bukan lagi miskin.