Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Gapura

13 Agustus 2020   22:18 Diperbarui: 17 Agustus 2020   22:23 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam ini suasana dingin sedingin salju laksana di pegunungan Himalaya. Hujan dari maghrib masih menyelimuti.

Namun, suasana beku ini tak kami biarkan membunuh semangat untuk melukis pahlawan kemerdekaan. Sebab, esok hari kami ingin membuat hiasan gapura di gerbang desa, untuk dilombakan dalam rangka HUT RI ke-75 tahun ini. 

Meskipun hujannya tidak juga reda, sepertinya sulit menggoyahkan semangat menyongsong kemerdekaan, yang hanya dirasakan setahun sekali. Yap, hanya setahun sekali kami merasakan gelora semangat kemerdekaan dan persatuan kita. Meski setelah itu semua seperti digulung ombak pertikaian kembali.

Di beranda, aku dan teman-temanku tengah asyik dengan aktivitas masing-masing. Tanganku tengah menari dengan kuasnya. Sosok pahlawan tengah aku lukis.

Sebenarnya aktivitas ini sudah dua hari yang lalu kami kerjakan, tapi apa daya, hingga malam ini belum juga kelar.

"Capek juga ya, Mat? Tanya temanku membuka pembicaraan.

"Ia, rasanya capek sekali. Padahal teman-teman kita sudah dibagi kelompok agar tugas masing-masing berjalan lancar. Eh, ndilalah masih ada saja yang absen, lupa kalau tugasnya belum selesai. Padahal dua hari lagi semua harus beres."

"Setelah ini beres, kita akan mengerjakan pekerjaan lain. Lihat saja, pos jaga kampung ini tak terawat. Bambu-bambu yang akan kita gunakan untuk membuat pagar jalan desa saja belum selesai ditebang. Gimana ini, Jun? Curhatku.

"Entahlah, aku saja bingung. Kalau lagi rapat, orang-orang begitu nyaring berbicara. Bak suara harimau mengaum yang hendak menyergap mangsa. Eh, giliran kerjaan ada di depan mata, langsung mlempem. Seolah-olah semua hanya ingin mencari panggung. Semua ingin dianggap hebat, padahal nol besar." 

Juned menggerutu. Ia malah heran dengan prilaku teman-teman yang seakan-akan tidak sesuai dengan apa yang diomongkan. Juned adalah  teman yang merupakan anggota Karang Taruna Merdeka di kampungku. 

"Sekarang sudah pukul sembilan malam, mereka juga belum kelihatan batang hidungnya. Apakah mereka tak malu jika esok hari kampung kita gagal membuat gapura itu?" Ocehku sambil melanjutkan kembali pekerjaanku.

"Lihat saja, lukisanku saja baru setengahnya. Gara-gara catnya kurang sekaleng lagi. Padahal kemarin sudah diperhitugkan waktu rapat. Tapi gara-gara Bejo semuanya jadi amburadul." 

"Sekarang saja target kerja malam ini belum selesai. Belum lagi besok, rencananya lebih banyak. Apalagi ada macam-macam lomba yang memang haru kita persiapkan." 

Lanjutku menggerutu.  

Lama-lama menggerutu malah seperti orang gila. Ngomong sendiri, ngomel sendiri.  Parahnya  kerap marah-marah sendiri. Sebagai ketua, aku harus bisa membuat tim ini solid. Jangan karena kepentingannya gak diapresiasi, tiba-tiba  ngambek dan ogah megawe. Padahal target tujuh belasan sudah ada di depan mata.

"Jun, apa kita pulang sekarang saja? Aku capek. Aku ingin istirahat." Kataku.

Aku merasa malam ini begitu menguras tenaga. Rasa-rasanya tak mampu lagi untuk meneruskan gawe ini. Biarlah aku istirahat, perkara besok akan dirapatkan lagi.

Esok harinya...

Pagi ini nampak cerah. Raja siang sudah menunjukkan batang hidungnya. 

Ruang karang taruna sudah digelari tikar pandan. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Semua anggota sudah kumpul secara melingkar untuk mengadakan rapat ulang. 

Di antara mereka sudah ada yang mulai memungut makanan untuk dimasukkan ke mulut. Sedangkan mulut mereka tak berhenti berbicara. Sungguh ramai sekai suasana pagi ini.

Bejo dan Maman terlihat sudah hadir dan ngobrol ngalor-ngidul. Ia seperti mempunyai uneg-uneg yang ingin disampaikan ke sesama anggota karang taruna. 

Bisa jadi masalah kemarin lusa yang masih mengganjal dalam pikirannya. Apa dia belum bisa menerima hasil musyawarah? 

Entahlah, aku berusaha menenangkan diri. Biarkan saja dia ngomong apa, nanti aku tampung dan saya floor kan dalam rapat. Meskipun aku sudah capek rapat, ujung-ujungnya ribut sesama anggota.

"Baiklah kawan-kawan, apa kita perlu rapat lagi? Sebab saya melihat tidak semua anggota menerima ide untuk membuat Gapura Desa dengan dilengkapi gambar pahlawan." 

Kataku membuka acara pagi itu.

"Sebenarnya saya sudah malas rapat." Bejo menyela.

"Kenapa, Jo?"Apa  kamu sudah gak punya ide lagi? Atau sudah gak mau diajak berunding? Aku terpaksa berkata agak kasar.

"Aku paham, eh maksudnya kita juga harus sama-sama paham bahwa keputusan rapat sudah diterima kemarin sesuai hasil rapat. Kenapa kamu masih tidak mau menerima?"

Yang lain terlihat menantap kami berdua yang nampak serius. Ada perdebatan kecil yang sedikit banyak seperti mengganggu fokus untuk rapat kali ini. 

Ada beberapa orang yang berbisik di belakang. Ada yang wajahnya terlihat kecut karena merasa keliru. Tapi tak sedikit yang justru memicingkan mata seolah-olah kata-kataku tidak berarti. 

Meski demikian, tetap saja kue-kue di piring semakin banyak berkurang. Kopi yang sudah disediakan pun tinggal separuh. Tapi rapat yang akan dilakukan urung dimulai.

"Sudah-sudah. Kalau mau rapat ayo diteruskan. Silakan Ketua membuka rapat secara resmi dan menerima masukan dari semua anggota." Peserta lain berusaha menengahi agar suasana tidak semakin gaduh.

Baiklah, sebelum kita rapat, saya sampaikan pada kawan-kawan beberapa hari yang lalu sudah menyepakati untuk mengerjakan gawe kita tadi malam. Nyatanya hanya saya dan Juned yang datang. Sedangkan yang lain tidak menampakkan batang hidungnya. Kemana kalian semua?" 

Kata-kataku meninggi. Aku seperti tak mampu lagi membendung emosi lantaran anggota yang tidak lagi konsisten dalam ucapan. Semua seolah-lah ingin menang sendiri dan ingin didengar pendapatnya. Padahal setiap orang berhak untuk berpendapat dan didengarkan pendapatnya. Jangan mentang-mentang keluarga pejabat seolah-olah mau berkuasa.

"Maaf ketua, kenapa masih ngomongin yang kemarin? Hari ini kita kan mau rapat? Kapan mulainya? Bejo merasa tidak bersalah dan mengalihkan pembicaraan.

"Jo, saya harap kamu bisa konsisten sama omongan kamu. Keputusan rapat seharusnya kamu ikuti, jangan menang sendiri. Atau jangan-jangan kamu mempengaruhi teman-teman untuk mengkudetaku?" Aku sedikit emosi.

"Apa bener Jo, kamu ingin melengserkanku dari ketua karang taruna?  Kamu ingin jadi ketua? Silakan saja, kalau kamu mau mengurus karang taruna ini. Tapi tolong kali ini dengarkan dulu kata-kata saya, dan tolong ikuti hasil rapat. Jangan seperti kemarin, seolah-olah menerima, ternyata berhianat. Ketika kerjaan masih banyak, batang hidungmu pun tak nampak. Lelaki macam apa kamu ini, omongannya gak bisa dipegang." Aku luapkan kekesalanku pada Bejo lantaran sikapnya yang tidak bertanggung jawab.

"Jika ada yang ingin memberi masukan sebelum rapat dimulai, silakan bicarakan di sini. Jangan dibelakang kalian ngedumel nggak jelas. Tahukah kalian, kalau pembicaraan hanya di belakang forum, maka kata-kata kalian seperti kentut. Yap. Seperti buang angin yang justru meracuni orang-orang di sekitarnya!"

Kali ini jiwa laki-lakiku memberontak. Ada sikap mbalelo dari anggota karang taruna. Sikap yang ditunjukkan seperti ulah para penghianat. Aku yang sudah lelah membangun karang taruna ini agar menjadi besar, seakan-akan sia-sia gara-gara ulah satu orang yang keras kepala.

Seketika ruangan itu menjadi hening. Setiap peserta hanya terdiam dan tidak mengeluarkan kata-kata sedikitpun. 

Bejo yang dari tadi memotong pembicaraan, kini hanya terdiam dan tak lagi berbicara. 

Ada raut wajah penuh malu yang terpancar di sana. 

Bagiku  karangtaruna adalah segala-galanya. Meskipun aku tidak memaksa untuk tetap menjadi ketua, tapi aku berharap mekanisme  organisasi tetap dipegang teguh. Jangan seperti pasar ayam yang gak jelas aturannya.

Beberapa saat hening, nampak peserta sudah bisa memulai proses rapat pagi itu. Meskipun waktu yang seharusnya selesai tepat waktu, harus melambat karena oleh anggota yang membuat ulah.

Kali ini semua permasalahan bisa diselesaikan dengan baik-baik. Kudekati Bejo yang sedari tadi hanya terdiam tak bersuara.

"Jo, maaf kalau saya tadi agak keras padamu. Saya tadi emosi lantaran kerja kita belum selesai, sedangkan target kita dua hari lagi harus rampung. Untung semua teman bisa menerima keputusan bersama." 

Aku ulurkan tanganku. Dan Bejo pun menyambutnya. 

"Aku juga minta maaf, karena tidak mengikuti hasil rapat. Aku menyesal sudah membuat kalian kecewa!" Bejo mengungkapkan penyesalannya.

"Tahu nggak kamu, Jo, aku menjadi ketua karang taruna ini bukan karena keinginanku? Aku nggak ambisi. Bahkan aku menolak untuk dipilih. Tapi kamu tau sendiri, ternyata aku dipercaya sebagai ketuanya. Sedangkan kamu, kamu jangan merasa kalah, toh semua ini hanyalah tugas. Jika kita melakukan dengan ikhlas dan bertanggung jawab, sepertinya permasalah kita gak akan muncul.

 "Sudahlah, gak usah diambil hati. Sebelum kita bubar, kita lanjutkan makan-makan kue dulu. O,ya, kalau kamu mau nambah kopi, silakan nambah di belakang. Semua masih tersedia." 

Kataku mengajaknya untuk menikmati hidangan kembali. Sayangnya Bejo tidak tertarik dan ia pamit untuk pulang. Sedangkan aku kembali duduk dan menyeruput  kopi yang masih tersisa ampasnya.

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun