Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kerikil Kecil

12 Agustus 2020   21:57 Diperbarui: 13 Agustus 2020   14:01 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku juga bingung, kenapa dia begitu saja minta cerai. Apakah karena uang belanja yang sedikit, atau karena kelalaianku? Sampai sekarang aku masih belum mendapatkan jawabannya dengan pasti." Aku hela nafas dalam-dalam.

Siang itu memang terasa panas, dan suhu udara pun begitu tinggi. Sampai-sampai keringat membasahi kaosku yang berwarna gelap itu. Sesekali aku ambil tisu dan kulap wajahku yang basah kuyup oleh peluh.

"Lalu, bagaimana dengan kehidupanmu? Apakah kamu sudah menikah? Berapa anak-anakmu?" Kubalik bertanya. 

Aku merasa ada yang aneh dengan sikap Yana padaku. Kenapa dia begitu peduli dengan masalahku? Batinku masih bertanya-tanya. Sedangkan dia menunjukkan wajah yang datar saja. Tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Aku belum menikah. Aku juga belum mendapatkan apa yang aku harapkan selama ini. Seorang pria yang tegas yang bisa memimpinku. Yang bisa membimbing anak-anakku nanti. Dan ketika melihat kisahmu, aku jadi merasa enggan untuk melanjutkan harapanku untuk mendapatkan laki-laki sepertimu." Kata-kata Yana seolah-olah memojokkanku.

"Maaf, maksud Yana apa? Terus terang aku agak tersinggung." Aku heran kenapa tiba-tiba Yana menyudutkanku dan seolah-olah merendahkanku.

"Kenapa kamu tersinggung? Kini aku tahu kalau kamu bukan laki-laki yang aku kenali. Lagian kenapa aku belum menikah sampai saat ini. Itu karena kamu. Wajahmu selalu muncul dalam setiap mimpiku. Dan sampai saat ini sangat membekas. Bahkan ketika aku melihatmu, aku langsung ingat siapa kamu sebenarnya."

"Aku kecewa, ternyata kamu adalah laki-laki yang gagal. Kamu telah kalah dengan dirimu sendiri. Sebagai laki-laki seharusnya kamu bisa membimbing istrimu dan membuatnya menghormatimu, bukan sebaliknya." 

Yana seperti menaruh kecewa terhadapku. Entahlah, kenapa ia menyalahku, sedangkan masa lalu memang pahit dan saat ini ingin merajut lagi kehidupan yang lebih baik.

"Lalu, mau kamu apa? Kenapa kamu mengungkit rasa sakit yang pernah aku alami? Kenapa juga kau menyapaku dan duduk di depanku kalau akhirnya membuat aku kecewa." Tanyaku kemudian.

"Sudahlah, maafkan aku yang telah membuatmu kecewa. Maafkan aku yang terlalu mengharapkanmu sebagai lelaki idamanku. Kini aku ingin berlalu dari hadapanmu. Dan semoga saja kehidupanmu lebih baik dengan wanita yang lain." Pungkasnya seperti pesan untukku yang menyiratkan betapa dia adalah teman yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun