Mohon tunggu...
Makruf Mukti Ali
Makruf Mukti Ali Mohon Tunggu... Freelancer - Data Enthusiast, HR Development Analyst

Seorang Sarjana Sistem Komputer dan Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahaya Laten Alienasi dan Dehumanisasi di Indonesia

4 Maret 2024   11:04 Diperbarui: 4 Maret 2024   11:16 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: unsplash.com/Noah Silliman.

Pendahuluan

Dewasa ini perkembangan dunia digital semakin cepat dan tidak terkendali, konsep konvensional perlahan-lahan mulai ditinggalkan masyarakat karena praktek-praktek tradisional dianggap tidak lagi efektif dan efisien untuk menghasilkan sebuah produk.

Bill Gates sendiri mempunyai anggapan bahwa gaya hidup digital merupakan sebuah passion gaya hidup modern yang selalu menggunakan teknologi informasi pada setiap waktu, sebagaimana dapat kita saksikan terjadinya perubahan sosial yang sangat mendasar.

Dapat kita amati kecenderungan masyarakat milenial saat ini dalam menginginkan sesuatu harus bersifat mudah dan praktis, semua serba tersedia dan dapat dikerjakan menggunakan gawai cerdas seperti memesan makanan, mengantar barang, memesan transportasi, menonton film, pembelajaran daring, layanan perbankan dan sebagainya.

Pada prinsipnya sebuah bisnis harus memenuhi dua entitas yaitu, produsen dan konsumen. Istilah asing disebut sebagai prosumption, dimana produsen merupakan pembuat atau penghasil produk berupa barang atau jasa sedangkan konsumen adalah pengguna atau pembeli produk berupa barang atau jasa. 

Berdasarkan pengamatan sejauh ini yang kita lihat secara umum produsenlah yang terus beradaptasi dan mengembangkan inovasi untuk mencari nilai efisien dan efektif dari suatu barang maupun jasa. Sehingga tanpa kita sadari hal tersebut membawa pengaruh pada pola manajemen organisasi baik dari segi perencanaan, tenaga kerja, model bisnis dan lain-lain.

Terjadinya fenomena tersebut, dipandang perlu dilakukan analisis apakah proses digitalisasi mempunyai dampak langsung terhadap manusia. Ruang lingkup ini terbatas pada masyarakat pengguna internet di Indonesia. Hal itulah yang menjadi fokus permasalahan bagaimana proses terjadinya alienasi dan dehumanisasi dalam industri digital.

Industri digital

Perkembangan teknologi informasi telah masuk pada era revolusi industri 4.0, dimana kita adalah bagian dari masyarakat dunia yang terkoneksi satu sama lain melalui jaringan internet, awal mula kemunculan industri 4.0 di inisiasi oleh Pemerintah Jerman untuk menerapkan teknologi komputer pada sebuah pabrik manufaktur. Berangkat dari ide tersebut Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia bernama klaus schwab menandai adanya disrupsi teknologi yang berubah menjadi serba digital seperti kemunculan robot pintar, kendaraan auto pilot, komputasi awan. Kemunculan teori tersebut membawa kita kepada pemikiran bagaimana sebuah mesin, teknologi dan sistem mampu menggantikan dan menyerupai karakteristik sebuah manusia.

Saat era disrupsi ini siapa yang tidak kenal dengan aplikasi media sosial seperti, Facebook, Youtube, Instagram, Twitter, LinkedIn, aplikasi online chat seperti, Whattsap, WeChat, Telegram, aplikasi online shoping seperti, Bukalapak, Tokopedia, Lazada, Amazon, Shopee, dan masih banyak lagi, aplikasi pemesanan online transportasi seperti Gojek, Grab, Uber, dan lainnya. Semua itu dalam pengoperasianya menggunakan sebuah alat yang kita sebut sebagai gawai cerdas dan membutuhkan aksesbilitas internet.

Pada tahun 2018 penelitian yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memiliki maksud dan tujuan untuk melihat penetrasi dan perilaku penggguna internet di Indonesia, survei tersebut melibatkan 171,17 juta responden dari 264,16 juta jumlah penduduk Indonesia. 

Secara umum hasil gambaran penelitian mengindikasikan bahwa jumlah pertumbuhan pengguna internet lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah pertumbuhan penduduk Indonesia, yang mana jumlah pertumbuhan pengguna internet  sebanyak 10,2 persen sedangkan pertumbuhan penduduk hanya 0,63 persen, dari pernyataan tersebut dapat kita generalisasi bahwa pertumbuhan pengguna internet di Indonesia sangat cepat dan masif, dengan usia dominan pengguna internet di Indonesia berada pada rentang usia 15-40 tahun yang merupakan usia kerja produktif.

Grafik 1 Pengguna Internet di Indonesia berdasarkan usia

Sumber: hasil survei APJII tahun 2018 terhadap penetrasi dan perilaku penggguna internet di Indonesia
Sumber: hasil survei APJII tahun 2018 terhadap penetrasi dan perilaku penggguna internet di Indonesia
Selain informasi diatas APJII juga coba menggali pekerjaan apa saja selalu menggunakan internet sebagai sarana pendukung kerja. Hasil survei tersebut merepresentasikan bahwa sektor privat lebih mengedepankan penggunaan internet ketimbang sektor publik. 

Mengapa hal tersebut terjadi, senada seperti yang dikemukan Aris dan Jazi (2009) bahwa digital devide baik e-commerce dan e-goverment ditekankan pada kurangnya ketersediaan infrastruktur yang digunakan untuk akses informasi yang dipandang dari sisi teknologi dan kurangnya keahlian serta kesadaran tentang bagaimana menggunakan informasi dan teknologi komunikasi secara efektif dan efisien. 

Pada sektor pemerintah lebih di fokuskan pada content yang dapat di akses oleh masyarakat, sedangkan pada sektor swasta tidak secara penuh difokuskan pada content hal ini dikarenakan pada e-commerce pemenuhan content dilakukan berdasarkan pada pasar dan adanya permintaan dari konsumen, karena pada e-commerce lebih difokuskan pada proses transaksi dan interaksi dengan konsumen.

Grafik 2 Pengguna Internet di Indonesia berdasarkan pekerjaan

Sumber: hasil survei APJII tahun 2018 terhadap penetrasi dan perilaku penggguna internet di Indonesia
Sumber: hasil survei APJII tahun 2018 terhadap penetrasi dan perilaku penggguna internet di Indonesia
Hasil survei tersebut memberikan gambaran kepada kita tentang fenomena digital yang terjadi di tengah masyarakat khususnya di Indonesia, Internet bukan lagi kebutuhan tersier melainkan kebutuhan primer.

Alienasi

Seorang filsuf besar bernama Karl Marx terkenal dengan teori konfliknya yang menjelaskan bahwa perubahan sosial terjadi akibat adanya ekploitasi besar oleh pemilik modal atau penguasa modal kepada kaum proletar sehingga mengakibatkan nilai dari hasil produksi pekerja tidak dapat dirasakan oleh dirinya. 

Fenomena tersebut didefinisikan oleh Marx (1814) sebagai kondisi sejarah tertentu dimana manusia mengalami pemisahan dari alam, manusia bukan sebagai makhluk sosial, dan terlebih pada cara menikmati hasil produksi mereka sendiri. Sejak manusia menciptakan dirinya sebagai buruh, semua bentuk alienasi ini berarti mengungkapkan bahwa alienasi manusia terjadi karena dirinya sendiri. 

Dalam konteks digital sekarang ini manusia adalah subyek utama yang terdampak akibat adanya proses alienasi terhadap perilaku dan kebiasaan-kebiasaannya, manusia modern yang bersifat individualistik menggambarkan bagaimana kebiasaaan mengakses internet minimal 4 sampai 8 jam per hari atau bahkan melebihi jumlah jam istirahat ideal. 

Mereka juga beranggapan bahwa pekerjaan lebih asik dan nyaman ketika dikerjakan sendiri seperti, mendengarkan musik melalui Spotify, cara memesan makanan online (Grabfood, Gofood, dsb), belanja online (Shopee, Bukalapak, Tokopedia dsb). Praktik tersebut telah menciptakan ruang kesendirian dan keterasingan (alienasi) pada interaksi sosial secara fisik.

Grafik 3 Waktu penggunaan internet dalam satu hari

Sumber: hasil survei APJII tahun 2018 terhadap penetrasi dan perilaku penggguna internet di Indonesia
Sumber: hasil survei APJII tahun 2018 terhadap penetrasi dan perilaku penggguna internet di Indonesia

Dehumanisasi

Salah satu dampak negatif industri digital adalah dehumanisasi. Menurut KBBI pengertian dehumanisasi adalah proses merendahkan harkat manusia dan tidak memanusiakan manusia secara layak. 

Bonus demografi Indonesia membawa kita pada pertukaran informasi, komunikasi digital yang cepat ditengah masyarakat melalui media sosial seperti facebook, whatsapp dan lainnya menyebabkan sulitnya membedakan apakah berita yang diterima mengandung unsur kebenaran atau kebohongan (hoax). Hoax mengarah kepada sifat provokatif yang cenderung menjadi fitnah digital sehingga mengakibatkan polarisasi masa dan membangkitkan disintegrasi sosial yang berkepanjangan.

 Keterkaitan hoax digital yang terjadi belakangan ini profesi buzzer semakin tumbuh subur dan bisa diandalkan sebagai entitas bisnis yang menjanjikan keuntungan, mereka terorganisir dan punya target tertentu, terus memproduksi konten digital untuk menggiring opini publik terhadap kebijakan yang terarah, hubungan kausalitas tersebut tentunya makin memperburuk keadaan dan memperunyam masalah sehingga kebenaran informasi dan validitas data yang tersaji menjadi bias dan yang paling parah berimbas pada semakin dalamnya jurang pemisah dikehidupan nyata. 

Dehumanisasi yang kedua adalah cyberbullying. Berdasarkan data APJII hampir 50% masyarakat pengguna internet pernah mengalami bullying di media sosial. Yang menarik dari pernyataan itu, respon yang terjadi atas tindakan bullying yang diterima oleh pribadi atau kelompok, mereka membalasnya dengan cara yang sama.

Grafik 4 Apakah anda pernah mengalami bullying di media sosial

Sumber: hasil survei APJII tahun 2018 terhadap penetrasi dan perilaku penggguna internet di Indonesia
Sumber: hasil survei APJII tahun 2018 terhadap penetrasi dan perilaku penggguna internet di Indonesia
Selain itu, tingginya akses terhadap gambar dan video porno yang hadir di jejaring internet sebesar 55, 9 persen turut berkontribusi negatif terhadap penggunanya dan orang lain seperti, kecanduan konten porno, pelecehan verbal, perendahan harga diri seseorang.

Grafik 5 Konten porno dalam jaringan internet

Sumber: hasil survei APJII tahun 2018 terhadap penetrasi dan perilaku penggguna internet di Indonesia
Sumber: hasil survei APJII tahun 2018 terhadap penetrasi dan perilaku penggguna internet di Indonesia

Kesimpulan

Industri digital menyebabkan terjadinya alienasi fisik yang disebabkan perilaku digital, sehingga membuat jurang sosial komunikasi semakin dalam komunitas masyarakat indonesia. 

Sedangkan dehumanisasi pada industri digital memiliki dampak negatif bahwa industri digital yang semakin masif akan memperluas praktek-praktek dehumanisasi dan perlahan-lahan mengikis nilai-nilai kemanusian, sehingga hal tersebut perlu diwaspadai sebagai ancaman terhadap keberlangsungan hidup umat manusia sebagai makhluk sosial. 

Aksi-aksi dehumanisasi tersebut makin menjauhkan masyarakat digital di Indonesia dari nilai religius, budaya dan bangsa yang luhur yang sarat dengan nilai filosofi pancasilais. Hal tersebut tentu sangat bertolak belakang pada sifat dasar manusia sebagai makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonis dan kebahagiaan kepada pihak-pihak lain (Dudung, 2017: 335). 

Secara spesifik survey yang dilakukan APJII ini memberikan informasi bagaimana gempuran teknologi digital yang tengah berlangsung apakah praktiknya memanusiakan manusia? Tantangan kedepan, fitrah manusia sebagai makhluk sosial dapatkah hidup berdampingan dengan teknologi digital tanpa ada aksi-aksi alienasi atau dehumanisasi.

Referensi:

  • Fuchs, Christian. 2014. Digital Labour and Karl Marx. New York: Routledge. ISBN 978-0-415-71615-4.
  • Comor, Edward. 201o. Digital Prosumption and alienation. http://www.ephemerajournal.org/contribution/digital-prosumption-and-alienation
  • 1Aris Puji Widodo, 2 Jazi Eko Istiyanto Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN 0854-0675 Volume 17, Nomer 3, Juli 2009 Kajian Pustaka:172-177
  • Abdullah, Dudung. 2018. Konsep Manusia Dalam Al-Quran. Al-Daulah Vol. 6 / No. 2 / Desember 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun