Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mengapa Tiongkok Mendukung Kemerdekaan Kepulauan Ryukyu (Okinawa)?

5 Mei 2023   15:13 Diperbarui: 5 Mei 2023   15:26 1955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini, Menlu Tiongkok Qin Gang telah mengangget dengan mengangkat isu Ryukyu, dia menunjukkan bahwa setelah Perang Dunia Kedua (PD II), dalam "Deklarasi Postdam" tidak secara jelas menyatakan kepemilikan Kepulauan Ryukyu, yang berarti Kep. Ryukyu saat ini diduduki secara ilegal oleh Jepang.

Deklarasi/Proklamasi Potsdam, (Proclamation Defining Terms for Japanese Surrender), adalah pernyataan yang menyerukan penyerahan semua angkatan bersenjata Jepang selama Perang Dunia II.

Pada  26 Juli 1945, Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman, Perdana Menteri Inggris Raya Winston Churchill, dan Presiden Republik Tiongkok (ROC) Chiang Kai-shek mengeluarkan dokumen tersebut, yang menguraikan ketentuan penyerahan Kekaisaran Jepang, sebagaimana disepakati di Konferensi Potsdam,  Ultimatum tersebut menyatakan bahwa, jika Jepang tidak menyerah, mereka akan menghadapi "kehancuran seketika dan total". Dan Jepang menyerah tanpa syarat.

Mengapa Menlu Tiongkok Qin Gang mengangkat kembali isu kepemilikan Ryukyu? Bagaimanakah kepemilikan Ryukyu dalam sejarah? Apa hubungannya dengan Tiongkok?

Ryukyu, yang oleh Jepang diganti namanya menjadi Okinawa, adalah kepulauan yang terletak di antara Jepang dan Tiongkok, termasuk Okinawa, Miyako, Yaeyama, dan ratusan pulau besar dan kecil lainnya.


Sumber: jmic.online
Sumber: jmic.online

Ryukyu dulunya adalah sebuah kerajaan independen. Pada tahun 1372, negara Ryukyu menjadi negara bawahan dinasti Tiongkok. Kerajaan Ryukyu bersatu menjadi satu negara kerajaan pada tahun 1429, namun masih memelihara hubungan sebagai raja bawahan  (suzerain-vassal)* dengan Tiongkok.

*(Suzerain-vassal, pihak bawahan disebut vassal, negara bawahan, atau negara bawahan, pihak dominan disebut suzerain, sedangkan hak dan kewajiban vassal disebut vassalage, hak dan kewajiban suzerain disebut suzerainty.)

Setelah jatuhnya Dinasti Ming, Ryukyu terus membayar upeti kepada pemerintah Qing, dan hubungan upeti ini berlangsung selama lebih dari 450 tahun.

Selama periode ini, Ryukyu menerima pengaruh budaya, bahasa, teknologi, dll dari Tiongkok dan membentuk budaya Ryukyu yang unik.

Pada saat yang sama, Ryukyu juga menjadi titik transfer perdagangan antara Tiongkok dan Jepang, Korea, Asia Tenggara, dan kawasan lain, berkembang menjadi industri maritim yang makmur.

Namun, nasib Ryukyu berubah drastis pada abad ke 17. Pada tahun 1609, Ke-Shogunan Tokugawa Jepang mengirim pasukan militer, Satsuma, untuk menyerang Ryukyu, merebut Kota Raja Shuri, dan menjarah sejumlah besar harta benda dan penduduk.

Sejak itu, Ryukyu terpaksa membayar upeti ke Jepang dan menjadi negara bawahan Jepang. Tapi Ryukyu tidak melepaskan hubungan untuk beraudiensi dengan kerajaan Tiongkok.

Sebaliknya, mereka mengadopsi kebijakan sebagai "dua bawahan", yaitu mengakui pengikut kedua negara ke dunia luar, situasi ini berlangsung hingga akhir abad ke-19.

Pada tahun 1879, ketika kekuatan nasional Dinasti Qing melemah, pemerintah Meiji Jepang mengambil kesempatan untuk menghapuskan Kerajaan Ryukyu dan menggabungkannya ke dalam wilayah Jepang dan menamainya Prefektur Okinawa.

Langkah ini diprotes keras oleh pemerintah Qing di Tiongkok, yang percaya bahwa pendudukan Jepang atas Ryukyu merupakan pelanggaran yurisprudensi sejarah dan konvensi internasional. Dan meminta Jepang untuk mencabut keputusannya dan mengembalikan status independen Kerajaan Ryukyu.

Namun, dalam Perang Tiongkok-Jepang tahun 1888-1895, pemerintah Tiongkok dikalahkan oleh tentara Jepang dan dipaksa menandatangani "Perjanjian Shimonoseki", dan menyerahkan kedaulatan atas Taiwan dan Kepulauan Penghu.

Tetapi, dalam "Perjanjian Shimonoseki" tidak menyebutkan masalah Ryukyu, sehingga pemerintah Qing/Manchu (Tiongkok) tidak secara resmi mengabaikan klaimnya atas Ryukyu.

Pasca P.D. II, dalam "Deklarasi Potsdam" dengan jelas menetapkan bahwa Jepang harus menyerah tanpa syarat dan menyerahkan semua wilayah dan hak kecuali Honshu, Hokkaido, Kyushu, Shikoku, dan pulau-pulau kecil terdekat.

Sumber: en.wikipedia.org
Sumber: en.wikipedia.org

Menurut deklarasi tersebut, Jepang diharuskan mengembalikan semua wilayah pendudukan. Pada saat itu, komandan Tentara Ryukyu Jepang, Mitsuru Ushijima, khawatir orang Ryukyu akan bergandengan tangan dengan Tiongkok untuk melikuidasi Jepang, bahkan dia memerintahkan pasukan Jepang yang ditempatkan di Ryukyu untuk menerapkan "Sanko Policy/Kebijakan Tiga Cahaya" dan membunuh mereka sebelum militer AS mengambil alih Ryukyu. Lebih dari 260.000 warga Ryukyu dibantai. Ini adalah "Pembantaian Ryukyu" merupakan pembantaian rakyat jelata kedua setelah Nanjing dalam sejarah Ryukyu.

Sumber: k.sina.com.cn
Sumber: k.sina.com.cn

Pasca pembantaian tersebut, hubungan antara Jepang dan penduduk pulau Ryukyu turun ke titik beku. "Deklarasi Potsdam" tidak secara jelas menyebutkan masalah kepemilikan negara/kerajaan Ryukyu.

Oleh karena itu, dalam beberapa dekade pascas perang, Kepulauan Ryukyu berada di bawah pendudukan militer AS dan menjadi pangkalan militer penting AS di kawasan Asia-Pasifik.

Baru pada tahun 1972 Amerika Serikat "mengembalikan" Kepulauan Ryukyu ke Jepang dan mengakui kedaulatan Jepang atas Kepulauan Ryukyu.

Namun, kali ini keputusan tersebut tidak mendapat persetujuan dan dukungan dari masyarakat Ryukyu.

Kenyataan, masyarakat Ryukyu selalu merasa tidak puas dan menentang pemerintahan Jepang, karena pemerintah Jepang telah menindas dan mendiskriminasi budaya, bahasa, pendidikan, ekonomi Ryukyu dan aspek lainnya.

Sumber: k.sina.com.cn
Sumber: k.sina.com.cn

Masyarakat Ryukyu juga resah dan marah dengan banyaknya pangkalan dan fasilitas militer yang didirikan AS di enam wilayah kepulauan tersebut, sehingga pangkalan dan fasilitas tersebut tidak hanya menempati lahan dan sumber daya dengan laju dua kali lipat, tetapi juga membawa banyak efek negatif bagi lingkungan dan masyarakat setempat.

Seperti kebisingan, polusi, kecelakaan, kriminalitas, dll. Selama beberapa dekade pendudukan ilegal Jepang atas Ryukyu, rakyat Ryukyu tidak diperlakukan sama oleh pemerintah Jepang, dan banyak kebijakan yang jelas mendiskriminasi Ryukyu.

Oleh karena itu, masyarakat Ryukyu banyak melancarkan protes dan demonstrasi untuk menuntut agar pemerintah Jepang dan pemerintah AS menghormati hak asasi dan kepentingan mereka.



Pengurangan atau penarikan pangkalan dan fasilitas militer, menuntut pemulihan status independen Ryukyu, aksi ini disebut "Gerakan Kemerdekaan Ryukyu".

Pemerintah Tiongkok selalu mendukung tuntutan sah rakyat Ryukyu, menyerukan kepada pemerintah Jepang dan pemerintah AS untuk menghormati keinginan dan kepentingan rakyat Ryukyu serta menjaga perdamaian dan stabilitas di Kepulauan Ryukyu.

Faktanya, jika Amerika Serikat benar-benar menghargai "semangat kontrak (spirit of social contract)", itu harus memenuhi komitmennya dalam "Proklamasi/Deklarasi Potsdam", tidak menyetujui pendudukan ilegal pemerintah Jepang di Kepulauan Ryukyu, dan memberikan rakyat Ryukyu hak atas kemerdekaannya.

Mengapa Tiongkok memunculkan masalah Ryukyu sekarang?

Baru-baru ini, dalam pertemuan para menteri luar negeri G7 yang  diadakan di Jepang, sebagai tuan rumah, Jepang sekali lagi bergegas ke garis depan anti-Tiongkok, membuat gelombang dan berbicara tentang masalah Selat Taiwan.

Pihak Jepang menyatakan bahwa "tidak ada negara yang diizinkan menggunakan kekuatan untuk mengubah status quo saat ini di Selat Taiwan", dan itu mencirikan Tiongkok sebagai "tantangan strategis terbesar", mengungkapkan permusuhan yang kuat terhadap Tiongkok.

Menariknya, pada 30 Maret, sesaat sebelum pertemuan para menteri luar negeri G7, wakil gubernur Prefektur Okinawa, Yoshimi Teruya, berinisiatif mengunjungi kedutaan besar Tiongkok di Jepang dan mengadakan pertemuan tertutup dengan duta besar Tiongkok Wu Jianghao.

Baru-baru ini Tiongkok juga memunculkan isu kemerdekaan Rykyu, tampaknya Tiongkok mendukung "Gerakan Kemerdekaan Ryukyu"  karena AS dan Jepang telah mengadopsi sikap yang semakin keras dan bermusuhan terhadap Tiongkok dalam masalah Taiwan, Menteri Luar Negeri Tiongkok Qin Gang menyatakan, "Kami berharap pihak Jepang dapat melihat sejarah dengan benar, menghormati fakta, dan bertindak dengan hati-hati di Taiwan terkait masalah kata-kata dan perbuatan salah yang merugikan kepentingan inti Tiongkok dan keseluruhan situasi hubungan Tiongkok-Jepang."

Pada saat yang sama, Tiongkok juga mengingatkan pihak Jepang bahwa Kepulauan Ryukyu bukan milik Jepang dalam hal yurisprudensi.

Pernyataan tersebut merupakan serangan balik pemerintah Tiongkok terhadap dukungan Amerika Serikat dan Jepang terhadap kemerdekaan Taiwan, dan juga merupakan cara pemerintah Tiongkok untuk menunjukkan pengaruh dan rasa kedaulatannya di Asia Timur.  Tiongkok juga memberikan dukungan kuat kepada aksi tuntutan rakyat Ryukyu.

Sumber: k.sina.com.cn
Sumber: k.sina.com.cn

Pada 30 Maret 2023, Wu Jianghao, duta besar Tiongkok yang baru untuk Jepang, mengadakan pertemuan Wakil Gubernur Yoshimi Teruya. Kedua belah pihak mencapai banyak konsensus. Kedua belah pihak memutuskan untuk tidak menggunakan nama Okinawa dan menggunakan "Ryukyu" yang lebih bersejarah.

Pada saat yang sama, pemerintah daerah Ryukyu mendirikan "kantor diplomatik regional".

Jika "Kantor Diplomatik Regional" Okinawa berhasil didirikan, Ryukyu akan lebih nyaman saat berpartisipasi dalam pertukaran internasional. Jepang tidak memiliki cara untuk mempertahankan "pendudukan" Ryukyu.

Dalam hal ini, tidak hanya Jepang yang sangat khawatir, bahkan Amerika Serikat juga sangat prihatin. Majalah Kebijakan Luar Negeri AS baru-baru ini menerbitkan sebuah artikel "Okinawa berada di Persimpangan Ambisi Tiongkok", mengungkapkan keprihatinan tentang kesepakatan terpisah wilayah Okinawa dengan Tiongkok dan penentangan terhadap penempatan pasukan AS di Okinawa.

Selama pertemuan ini, Yoshimi Teruya tidak hanya memperkenalkan kepada Tiongkok "Kantor Diplomatik Regional" yang akan didirikan di Prefektur Okinawa, tetapi juga memberi tahu pihak Tiongkok bahwa "Orang No. 1" Prefektur Okinawa - Gubernur Tamaki Denny bermaksud untuk mengunjungi Tiongkok.

Sumber: washingtontimes.com
Sumber: washingtontimes.com

Pada 15 April 2023, Tamaki Denny sendiri juga menyatakan melalui konferensi pers bahwa pemerintah Jepang akan mengirimkan delegasi dari Japan International Trade Promotion Association ke Tiongkok untuk mengikuti konferensi pada bulan Juli guna mempromosikan pertukaran ekonomi dan budaya antara Tiongkok dan Jepang, dan dia akan menemani delegasi ke Tiongkok.

Munculnya perbedaan seperti itu sebenarnya tidak mengherankan sama sekali, seperti yang kita ketahui bersama, rakyat Ryukyu/Okinawa telah lama menderita dari pemerintah Jepang dan AS.

Hanya dalam lebih dari seratus tahun sejarah, Ryukyu/Okinawa telah dianeksasi, diabaikan dan ditinggalkan oleh Jepang, dibantai, ditindas dan diintimidasi oleh AS, dan hak asasi manusia penduduk setempat telah diinjak-injak oleh pemerintah AS dan Jepang selama bertahun-tahun. Rakyat Ryukyu/Okinawa yang tertindas tidak pernah berhenti melawan selama bertahun-tahun.

Semua tragedi ini dimulai dari Okinawa - Ryukyu lebih dari seratus tahun yang lalu.

Pandangan Rakyat Tiongkok

Rakyat Tiongkok banyak yang mempertanyakan: Bagaimana seharusnya Tiongkok memandang isu kepemilikan Ryukyu?

Kepemilikan Ryukyu adalah masalah kompleks yang melibatkan sejarah, hukum, politik, budaya, dan opini publik.

Banyak pihak dalam negeri Tiongkok yang menghendaki Tiongkok seharusnya melihat masalah kualifikasi dari aspek-aspek berikut: Pertama, Tiongkok menghormati keinginan dan kepentingan Rakyat Ryukyu, mendukung tuntutan sah mereka, dan melindungi budaya dan lingkungan mereka. Rakyat Ryukyu selalu tidak puas dan menentang pemerintahan Jepang, mereka juga merasa terganggu dan marah atas banyaknya pangkalan dan fasilitas militer yang didirikan oleh AS di Kepulauan Ryukyu.

Tiongkok harus membantu rakyat Ryukyu melindungi kemerdekaan mereka, dan secara hukum membantu Kepulauan Ryukyu mencapai kemerdekaan. Sehingga Ryukyu akhirnya bisa lepas dari kontrol dan kekuasaan kolonial Jepang dan AS.

Kedua, Tiongkok harus menghormati hukum dan ketertiban internasional, menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan, serta menentang segala bentuk hegemonisme dan intervensionisme.

Kekuasaan Jepang atas Ryukyu didasarkan pada agresi Jepang yang tidak masuk akal dan pendudukan militer AS, selama ini tanpa persetujuan dan pengakuan rakyat Tiongkok dan Ryukyu.

AS dan Jepang telah mendirikan sejumlah besar pangkalan dan fasilitas militer di Kepulauan Ryukyu, yang tidak hanya melanggar hak asasi manusia dan kepentingan rakyat Ryukyu, tetapi juga mengancam keamanan dan kepentinganTiongkok, terutama dalam masalah Selat Taiwan.

Tiongkok harus meminta AS dan Jepang untuk menghormati komitmen dalam "Deklarasi Kairo dan Proklamasi Potsdam", untuk tidak mengakui pendudukan ilegal Kepulauan Ryukyu oleh pemerintah Jepang, dan untuk memberikan hak kemerdekaan kepada rakyat Ryukyu.

Akhirnya, Tiongkok harus menyadari bahwa ketika Tiongkok berbicara tentang masalah Ryukyu, hal itu bertujuan untuk menunjukkan pengaruh dan rasa kedaulatannya di Asia Timur dan menjaga kepentingan intinya.

Karena AS dan Jepang telah mengadopsi sikap yang semakin keras dan bermusuhan terhadap Tiongkok dalam masalah Selat Taiwan, berusaha menahan/membendung dan menekan perkembangan dan kebangkitan Tiongkok, pemerintah Tiongkok harus mengambil beberapa langkah untuk menanggapi provokasi tersebut.

"Kartu Ryukyu" telah menyebabkan tekanan psikologis yang sangat besar di Jepang.

Ketika Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi menjawab pertanyaan yang diajukan oleh anggota parlemen: "Apakah krisis Taiwan berarti ada yang salah dengan Jepang", dia tidak mengomentari pertanyaan ini dengan alasan dia mewakili pemerintah Jepang.

Selanjutnya baca: Sejarah Ketidak Puasan, Dendam Rakyat Ryukyu Terhadap AS dan Jepang

Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri

https://www.scmp.com/week-asia/lifestyle-culture/article/3108715/okinawa-ryukyu-royalty-descendant-stands-firm

https://jmic.online/issues/v7n2/1/ 

https://www.163.com/dy/article/I3EMKF310553XS3D.html

https://zhuanlan.zhihu.com/p/626310230

https://www.kwongwah.com.my/20160529/%E6%8B%92%E5%BD%93%E7%BE%8E%E6%97%A5%E9%A9%AC%E5%89%8D%E5%8D%92-%E5%86%B2%E7%BB%B3%E5%90%B9%E8%B5%B7%E7%8B%AC%E7%AB%8B%E9%A3%8E/

https://k.sina.com.cn/article_1887344341_707e96d502001d8g8.html

https://www.washingtontimes.com/news/2023/mar/8/okinawa-gov-denny-tamaki-dc-push-smaller-us-milita/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun