Pihak oposisi terhadap Tiongkok terutama dari Barat & AS menafsirkan bahwa pemerintah ROC pada waktu itu dan RRT yang telah menguasai daratan, tidak tahu banyak tentang banyaknya perairan dan terumbu karang sporadis di LTS di dalam garis ini.
Kisaran 9 garis putus ini diambil berdasarkan alasan sejarah, misalnya, menurut dokumen dinasti Qing, Ming, dan bahkan Yuan, dan juga klaim bahwa nelayan Tiongkok sering mengunjungi pernah tinggal di daerah ini di masa lalu untuk menangkap ikan.
Pada tahun 1934 negara-negara sekitar LTS tidak ada yang memprotes ketika ROC menggambar peta seperti itu, terutama karena tidak banyak negara di sekitar LTS saat itu (masih belum terbentuk sebagai negara merdeka).
Saat itu, Filipina dibeli oleh AS dari penjajah Spanyol seharga $20 juta dan masih berada di bawah kendali Amerika (AS).
Negara-negara bagian Malaysia masih merupakan koloni Inggris, dan kerajaan Brunei sudah mengalami kemunduran. Vietnam adalah koloni Prancis pada saat itu, yang disebut Indochina Prancis.
Bahkan, pada tahun 1933, Indochina Prancis benar-benar menduduki beberapa pulau di Kepulauan Paracel/Xisha dan Spartly/Nansha dan menyatakan aneksasi.
Secara resmi menggabungkan Kepulauan Xisha/Paracel dan Spratly/Nansha ke Indochina Prancis dan membangun beberapa stasiun di atasnya. Tapi mereka tidak mengganggu atau mengusir para nelayan Tionghoa yang sedang menjaring ikan memancing di sana saat itu, yang memang sudah dilakukan turun-menurun sejak nenek moyangnya.
Kemudian menjadi kacau sejak P.D. II. Jepang menduduki Taiwan dan Indochina Prancis, atau Vietnam, pada P.D. II.
Jepang tetap menempatkan Kepulauan Xisha/Paracel dan Spratly/Nansha ke dalam yurisdiksi Taiwan, yang saat itu dikuasai oleh Jepang.
Setelah kekalahan Jepang dalam PD II, baik pemerintah ROC maupun Prancis kembali mencoba untuk menegaskan klaim mereka atas Kepulauan Spratly/Xisha dan Paracel.
Awalnya negosiasi dijadwalkan antara pemerintah ROC dan Prancis atas Kepulauan Nansha/Spratly dan Xisha/Paracel di LTS.