Mohon tunggu...
Maimun Ridwan Mukaris
Maimun Ridwan Mukaris Mohon Tunggu... Konsultan - Advokat, Konsultan Hukum dan Industrial Relation

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pernah beberapa kali bekerja sebagai HRD dan GA Manager di beberapa perusahaan, menjadi anggota Dewan Pengupahan dan Pengurus APINDO. Sekarang aktif sebagai Advokat, Konsultan Hukum dan Industrial Relation. e-mail : maimunaster@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Upah Proses Progresif

23 September 2019   12:26 Diperbarui: 14 November 2019   11:12 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,  mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut,"

karena ada hubungan kausalitas diantara keduanya. Unsur kesalahan (schuldelement) pengusaha sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum telah terpenuhi dengan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan (negligence/ culpa) dari pihak pengusaha dalam melakukan PHK dan tidak adanya alasan pembenar/pemaaf (rechtvaardigingsgrond) seperti overmach, membela diri dan lain-lain sebagaimana diatur oleh hukum.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 ketika memutuskan bahwa upah proses harus dibayar hingga adanya putusan PHK yang berkekuatan hukum tetap, pada pertimbangannya juga memandang perlu untuk memberikan pedoman dalam menafsirkan pasal 155 ayat (2) agar terjadi kepastian yang adil dalam pelaksanaan ketentuan pasal tersebut sehingga pengusaha dan pekerja/buruh akan memperoleh jaminan kepastian hukum tentang hak-haknya jika terjadi perselisihan.

Untuk memperoleh upah proses yang bersifat progresif maka pekerja/buruh harus mencantumkannya dalam petitum pada gugatan ke Pengadilan Hubungan Indutrial (PHI). Petitum adalah hal yang dimohonkan penggugat untuk dikabulkan oleh hakim dalam putusannya. Ketentuan pasal 96 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa apabila dalam persidangan pertama terbukti secara nyata pihak pengusaha tidak membayar upah beserta hak-hak pekerja/buruh lainnya, maka hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. Sesuai ketentuan tersebut,  maka tuntutan tentang upah proses progresif seharusnya diajukan dalam tuntutan sela (provisi) dan sudah selayaknya jika majelis hakim PHI menjatuhkan putusan sela (provisi) berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta dendanya dan hak-hak lain yang biasa pekerja/buruh terima dan belum dibayar oleh pengusaha.

Dalam ketentuan pasal 96 tersebut yang mengharuskan hakim ketua untuk menjatuhkan putusan sela (provisi) berupa perintah membayar upah dan hak-hak pekerja/buruh yang lain, terdapat kata," harus" dalam ayat tersebut sehingga bila tidak dilaksanakan semestinya ada sanksi yang diterimanya. Akan tetapi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak memuat sanksi jika hakim ketua tidak mematuhi ketentuan pasal 96 untuk menjatuhkan putusan sela tersebut. Dalam praktek peradilan, penulis juga belum pernah menemukan hakim ketua yang menjatuhkan putusan sela dimaksud.

Alasan yang digunakan hakim ketua untuk tidak mengabulkan tuntutan putusan sela tersebut biasanya adalah karena pada persidangan pertama baru mendengarkan gugatan dari satu pihak dan menganggap upah proses sudah masuk dalam materi pokok perkara sehingga harus diperiksa dalam proses persidangan. Dengan demikian ketentuan pasal 96 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak pernah diterapkan dan menjadi pasal yang impoten sehingga perlu dipertimbangkan untuk lebih baik dicabut saja dari pada hanya menjadi ketentuan yang in abstracto dan tidak pernah menjadi in concreto.

Bagaimana sikap majelis hakim PHI terhadap petitum upah proses progresif tersebut ? Apakah dikabulkan atau ditolak ? Dalam prakek dijumpai beberapa putusan yang tidak serupa antara pengadilan satu dengan pengadilan yang lain, semua suka-suka majelis hakimnya saja dalam memutus dan mencari dasar hukumnya.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam putusan No. 310/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.JKT.PST., menolak tuntutan pemberian upah proses yang diajukan Kantor Hukum HSH & Partners yang mewakili kliennya, karena tidak adanya surat skorsing yang bisa dijadikan dasar pemberian upah proses sesuai ketentuan pasal 155 ayat (3) Undang-undang Ketenagakerjaan. Alasan majelis hakim untuk tidak memberikan upah proses karena tidak adanya surat skorsing menurut pandangan penulis adalah  tidak tepat dan terkesan hanya mencari-cari alasan pembenar.

Dalam PHK sepihak dimana setelah memberikan surat PHK, pengusaha tidak membolehkan pekerja/buruh untuk masuk kerja sebenarnya sudah bisa ditafsirkan telah adanya skorsing kepada pekerja/buruh. Mengingat PHK sepihak adalah batal demi hukum sehingga pekerja/buruh dan pengusaha masih harus menjalankan kewajiban masing-masing sampai adanya penetapan PHK yang berkekuatan hukum tetap, maka larangan  masuk kerja oleh pengusaha bisa ditafsirkan sebagai skorsing tanpa perlu adanya bukti surat skorsing.

Dalam hal ini mestinya pihak pengusaha yang diharuskan membuktikan tidak adanya larangan masuk kerja, bukan malah pihak pekerja/buruh yang disuruh membuktikan adanya surat skorsing. Apabila pihak pengusaha tidak dapat membuktikan tidak adanya larangan masuk kerja maka hal ini sudah memberikan bukti yang cukup bagi majelis hakim untuk mengabulkan tuntutan upah proses. 

Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor : Per-03/MEN/1996 pada pasal 17 yang menyatakan bahwa :

  • Sebelum izin PHK diberikan, jika pengusaha tidak melakukan skorsing maka pengusaha dan pekerja harus tetap melaksanakan kewajiban masing-masing;
  • Jika pekerja tidak melaksanakan kewajibannya karena dilarang oleh pengusaha tetapi pengusaha tidak melakukan skorsing maka pengusaha wajib membayar upah selama dalam proses PHK sebesar 100% (seratus prosen),

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun