Mohon tunggu...
Maimun Ridwan Mukaris
Maimun Ridwan Mukaris Mohon Tunggu... Konsultan - Advokat, Konsultan Hukum dan Industrial Relation

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pernah beberapa kali bekerja sebagai HRD dan GA Manager di beberapa perusahaan, menjadi anggota Dewan Pengupahan dan Pengurus APINDO. Sekarang aktif sebagai Advokat, Konsultan Hukum dan Industrial Relation. e-mail : maimunaster@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Upah Proses Progresif

23 September 2019   12:26 Diperbarui: 14 November 2019   11:12 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Istilah upah proses sebenarnya tidak dijumpai dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Istilah tersebut muncul dalam praktek ketenagakerjaan untuk menunjuk adanya upah yang harus dibayar pengusaha kepada pekerja/buruh selama proses pemutusan hubungan kerja (PHK) berlangsung dimana selama proses tersebut pekerja/buruh tidak dipekerjakan bukan atas keinginan pekerja/buruh. Upah proses bisa bersifat progresif yaitu akan bertambah atau berlipat jumlahnya jika hingga saat upah jatuh tempo pembayaran ternyata belum dibayar oleh pengusaha, hal ini karena upah yang belum dibayar tersebut masuk dalam katagori upah terlambat bayar yang bisa dikenakan denda keterlambatan.

Sesuai ketentuan pasal 155 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, selama putusan PHK belum ditetapkan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) maka pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajiban masing-masing. Pada ayat (3) pasal tersebut dinyatakan bahwa pengusaha dapat melakukan skorsing kepada pekerja/buruh selama proses PHK berlangsung dengan tetap wajib membayar upah sebesar yang biasa diterima oleh pekerja/buruh.

Dalam praktek sering kita jumpai pengusaha tidak menskorsing pekerja/buruh tetapi memilih jalan pintas dengan melakukan PHK secara sepihak terhadap pekerja/buruh, tidak memperbolehkan pekerja/buruh masuk kerja pada hari sesudahnya dan tidak lagi membayar upah yang menjadi hak pekerja/buruh tersebut sejak saat itu. Padahal sesuai ketentuan pasal 151 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja setelah  setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) yang apabila ketentuan ini disimpangi resikonya sesuai ketentuan pasal 155 ayat (1) adalah PHK tersebut batal demi hukum.

Dalam ilmu hukum, suatu perbuatan atau perjanjian yang dinyatakan batal demi hukum berarti oleh hukum perbuatan atau perjanjian tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai konsekuensi apapun sehingga dengan sendirinya segala perbuatan lain yang menyertai yang dimaksudkan untuk mengimplemantasikannya dianggap tidak pernah ada.

Mengingat PHK sepihak adalah batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada maka konsekuensinya adalah hubungan kerja tersebut tidak terputus sehingga masing-masing pihak yaitu pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajiban masing-masing. Pekerja/Buruh harus tetap masuk kerja dan melaksanakan pekerjaannya sedang pengusaha harus tetap membayar upah yang menjadi hak pekerja/buruh. Hal ini sesuai ketentuan pasal 170 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa bila PHK adalah batal demi hukum maka pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.

Setelah melakukan PHK sepihak biasanya pengusaha mengganggap sudah tidak lagi berkewajiban membayar upah atau bisa jadi sengaja tidak bersedia membayar upah, menganggap kasus telah selesai dan membiarkannya. Padahal setiap PHK atas keinginan pengusaha, mengharuskan adanya pengajuan permohonan PHK secara tertulis ke lembaga PPHI oleh pengusaha tersebut. Bila hal ini dibiarkan berlarut-larut maka konsekuensinya sesuai pasal 155 ayat (2) pengusaha harus tetap membayar upah karena PHK yang dilakukannya adalah batal demi hukum atau dianggap belum pernah terjadi sehingga hubungan kerja oleh hukum dianggap belum putus.  Keharusan untuk tetap membayar upah ini sejalan dengan ketentuan pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 yang menyatakan hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadinya hubungan kerja dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja tersebut.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam putusannya Nomor 37/PUU-IX/2011, menetapkan bahwa hak pekerja/buruh atas upah dan hak-hak lain yang biasa diterima harus tetap diberikan kepada pekerja/buruh sampai ada penetapan  PHK yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi dan ketentuan peraturan perundangan lain yang telah disebutkan tersebut maka sebenarnya tiada suatu ketentuan yang bisa menghindarkan pengusaha untuk tidak membayar upah pekerja/buruh selama dalam proses PHK hingga ada penetapan PHK oleh lembaga PPHI yang mempunyai kekuatan hukum tetap.  

Kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah pekerja selama dalam proses PHK ini harus dilakukan sesuai jadwal waktu pembayaran yang biasa dilakukan dan apabila terlambat bayar maka bisa dikatagorikan sebagai upah terlambat bayar yang dapat dikenai denda kelambatan sebagaimana diatur dalam pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan yang besarnya adalah :

  • Kelambatan setelah hari keempat sampai hari kedelapan dikenakan denda kelambatan sebesar 5% (lima persen)  per hari kelambatan dikalikan upah;
  • Kelambatan pada hari kesembilan hingga akhir bulan bila upah masih belum dibayar maka dikenakan denda 6% (enam persen) per hari kelambatan dengan maksimum denda sebulan tidak boleh lebih dari 50%  (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayar;
  • Apabila hingga akhir bulan upah masih belum dibayar maka dendanya adalah 50% (lima puluh persen) ditambah suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah, dan dibayarkan hingga upah dibayar lunas.

Sesuai ketentuan pasal 55 tersebut maka denda upah maksimal  dalam sebulan adalah 50% dari upah yang terlambat dibayar pada bulan sebelumnya. Apabila setelah lewat waktu sebulan belum dibayar maka dendanya adalah (50% ditambah prosentase suku bunga pada bank pemerintah) dikalikan upah yang terlambat dibayar. Jika upah tidak segera dibayar oleh pengusaha maka denda upah bisa menjadi makin besar karena bersifat komulatif sehingga upah proses makin lama makin besar jauh melebihi upah yang terlambat dibayar itu sendiri sehingga upah proses menjadi bersifat progresif.

Pembebanan pembayaran upah (beserta dendanya) dan hak-hak lain yang biasa diterima pekerja/buruh kepada pengusaha selama proses PHK hingga berkekuatan hukum tetap ini adalah hal wajar mengingat pekerja/buruh biasanya mempunyai tanggungan untuk menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anaknya. Apabila pekerjaan tersebut adalah satu-satunya sumber nafkah bagi pekerja/buruh maka kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba berarti adalah kehilangan sumber nafkah hidup yang bisa berakibat tidak hanya pada dirinya tetapi juga keluarganya. Oleh karena itu pembentuk undang-undang memberikan batasan agar semua pihak menghindari terjadinya PHK dan bila PHK tidak bisa dihindari maka harus memenuhi syarat formil yang diharuskan serta hanya bisa dilakukan dengan penetapan oleh lembaga PPHI.

PHK sepihak adalah perbuatan yang melanggar hukum, maka sudah sepantasnya jika pihak yang melanggar hukum tersebut menanggung resiko atas perbuatannya. Unsur perbuatan melawan hukum  tersebut telah terpenuhi dengan tidak dilakukannya prosedur pemutusan hubungan kerja sebagaimana diharuskan undang-undang sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain berupa hilangnya hak pekerja/buruh yang dilindungi hukum untuk bekerja dan memperoleh penghasilan guna menafkahi keluarga dan membiayai pendidikan anak. Oleh karenanya adalah wajar jika pengusaha atas perbuatannya tersebut diwajibkan untuk mengganti kerugian yang diderita pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 1365 KUHPerd. bahwa,

"tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,  mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut,"

karena ada hubungan kausalitas diantara keduanya. Unsur kesalahan (schuldelement) pengusaha sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum telah terpenuhi dengan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan (negligence/ culpa) dari pihak pengusaha dalam melakukan PHK dan tidak adanya alasan pembenar/pemaaf (rechtvaardigingsgrond) seperti overmach, membela diri dan lain-lain sebagaimana diatur oleh hukum.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 ketika memutuskan bahwa upah proses harus dibayar hingga adanya putusan PHK yang berkekuatan hukum tetap, pada pertimbangannya juga memandang perlu untuk memberikan pedoman dalam menafsirkan pasal 155 ayat (2) agar terjadi kepastian yang adil dalam pelaksanaan ketentuan pasal tersebut sehingga pengusaha dan pekerja/buruh akan memperoleh jaminan kepastian hukum tentang hak-haknya jika terjadi perselisihan.

Untuk memperoleh upah proses yang bersifat progresif maka pekerja/buruh harus mencantumkannya dalam petitum pada gugatan ke Pengadilan Hubungan Indutrial (PHI). Petitum adalah hal yang dimohonkan penggugat untuk dikabulkan oleh hakim dalam putusannya. Ketentuan pasal 96 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa apabila dalam persidangan pertama terbukti secara nyata pihak pengusaha tidak membayar upah beserta hak-hak pekerja/buruh lainnya, maka hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. Sesuai ketentuan tersebut,  maka tuntutan tentang upah proses progresif seharusnya diajukan dalam tuntutan sela (provisi) dan sudah selayaknya jika majelis hakim PHI menjatuhkan putusan sela (provisi) berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta dendanya dan hak-hak lain yang biasa pekerja/buruh terima dan belum dibayar oleh pengusaha.

Dalam ketentuan pasal 96 tersebut yang mengharuskan hakim ketua untuk menjatuhkan putusan sela (provisi) berupa perintah membayar upah dan hak-hak pekerja/buruh yang lain, terdapat kata," harus" dalam ayat tersebut sehingga bila tidak dilaksanakan semestinya ada sanksi yang diterimanya. Akan tetapi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak memuat sanksi jika hakim ketua tidak mematuhi ketentuan pasal 96 untuk menjatuhkan putusan sela tersebut. Dalam praktek peradilan, penulis juga belum pernah menemukan hakim ketua yang menjatuhkan putusan sela dimaksud.

Alasan yang digunakan hakim ketua untuk tidak mengabulkan tuntutan putusan sela tersebut biasanya adalah karena pada persidangan pertama baru mendengarkan gugatan dari satu pihak dan menganggap upah proses sudah masuk dalam materi pokok perkara sehingga harus diperiksa dalam proses persidangan. Dengan demikian ketentuan pasal 96 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak pernah diterapkan dan menjadi pasal yang impoten sehingga perlu dipertimbangkan untuk lebih baik dicabut saja dari pada hanya menjadi ketentuan yang in abstracto dan tidak pernah menjadi in concreto.

Bagaimana sikap majelis hakim PHI terhadap petitum upah proses progresif tersebut ? Apakah dikabulkan atau ditolak ? Dalam prakek dijumpai beberapa putusan yang tidak serupa antara pengadilan satu dengan pengadilan yang lain, semua suka-suka majelis hakimnya saja dalam memutus dan mencari dasar hukumnya.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam putusan No. 310/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.JKT.PST., menolak tuntutan pemberian upah proses yang diajukan Kantor Hukum HSH & Partners yang mewakili kliennya, karena tidak adanya surat skorsing yang bisa dijadikan dasar pemberian upah proses sesuai ketentuan pasal 155 ayat (3) Undang-undang Ketenagakerjaan. Alasan majelis hakim untuk tidak memberikan upah proses karena tidak adanya surat skorsing menurut pandangan penulis adalah  tidak tepat dan terkesan hanya mencari-cari alasan pembenar.

Dalam PHK sepihak dimana setelah memberikan surat PHK, pengusaha tidak membolehkan pekerja/buruh untuk masuk kerja sebenarnya sudah bisa ditafsirkan telah adanya skorsing kepada pekerja/buruh. Mengingat PHK sepihak adalah batal demi hukum sehingga pekerja/buruh dan pengusaha masih harus menjalankan kewajiban masing-masing sampai adanya penetapan PHK yang berkekuatan hukum tetap, maka larangan  masuk kerja oleh pengusaha bisa ditafsirkan sebagai skorsing tanpa perlu adanya bukti surat skorsing.

Dalam hal ini mestinya pihak pengusaha yang diharuskan membuktikan tidak adanya larangan masuk kerja, bukan malah pihak pekerja/buruh yang disuruh membuktikan adanya surat skorsing. Apabila pihak pengusaha tidak dapat membuktikan tidak adanya larangan masuk kerja maka hal ini sudah memberikan bukti yang cukup bagi majelis hakim untuk mengabulkan tuntutan upah proses. 

Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor : Per-03/MEN/1996 pada pasal 17 yang menyatakan bahwa :

  • Sebelum izin PHK diberikan, jika pengusaha tidak melakukan skorsing maka pengusaha dan pekerja harus tetap melaksanakan kewajiban masing-masing;
  • Jika pekerja tidak melaksanakan kewajibannya karena dilarang oleh pengusaha tetapi pengusaha tidak melakukan skorsing maka pengusaha wajib membayar upah selama dalam proses PHK sebesar 100% (seratus prosen),

sebenarnya telah cukup memberikan dasar bagi majelis hakim untuk tidak menolak tuntuan upah proses dengan alasan tidak adanya surat skorsing. Permenaker tersebut walaupun ditetapkan sebelum lahirnya Paket tiga (3) Undang-undang baru di bidang ketenagakerjaan di era reformasi, masih tetap berlaku sepanjang belum ada aturan baru yang mencabut atau mengatur hal yang sama. Semua peraturan dianggap masih berlaku sepanjang belum diatur atau belum dicabut oleh peraturan baru atau sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan baru yang ditetapkan kemudian. Hal ini sudah merupakan hal yang lumrah dalam dunia hukum karena merupakan azas yang berlaku umum.

Sebelumnya Majelis Hakim PHI pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pernah mengabulkan tuntutan upah proses sebanyak 30 X upah per bulan dan 36 X upah per bulan dalam Putusan Nomor 167/PHI.G/2011/PN.JKT.PST. Putusan serupa juga pernah dilakukan oleh Majelis Hakim PHI pada Pengadilan Negeri Medan dalam Perkara Nomor 145/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn. yang mengabulkan diberikannya upah proses kepada pekerja/buruh atas dilakukannya PHK sepihak oleh pengusaha.

Pengadilan Negeri Jayapura dalam Putusan Nomor 13/G/2009/PHI.JPR pada tanggal 15 Maret 2010, memutuskan bahwa PHK sepihak yang dilakukan pengusaha tidak sah serta memerintahkan kembali pengusaha selaku Tergugat untuk mempekerjakan kembali pekerja/buruh selaku penggugat serta memberikan hak-hak penggugat berupa upah proses per bulan terhitung sejak bulan Januari 2009 hingga adanya putusan PHI yang berkekuatan hukum tetap.

Mahkamah Agung pada pada Putusan tingkat kasasi Nomor : 582K/Pdt.Sus/2010 tanggal 29 September 2010  menolak permohonan kasasi pengusaha/tergugat dan tetap memerintahkan pengusaha untuk mempekerjakan pekerja/buruh selaku penggugat dan membayar upah proses sebagaimana diputuskan oleh Majelis Hakim PHI pada Pengadilan Negeri Jayapura tersebut hingga adanya putusan PHI yang berkekuatan hukum tetap. Mengingat pengusaha tidak segera melaksanakan putusan tersebut maka kemudian dieksekusi oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jayapura pada tanggal 21 Mei 2012 sehingga upah proses yang dibayar pada eksekusi tersebut membengkak menjadi sebesar 39 bulan upah terhitung sejak upah bulan Januari 2009 hingga April 2012.

Pada kasus lain, Mahkamah Agung (MA) dalam putusan tingkat kasasi Nomor : 241K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 26 Mei 2016 telah menganulir atau mengubah upah proses yang telah diputuskan oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan Nomor : 129/Pdt.Sus.PHI/2015/PN.Mdn yang memberikan upah proses dari 12 (dua belas) bulan menjadi 6 (enam) bulan dengan pertimbangan proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 paling lama hanya 6 (enam) bulan. Pertimbangan ini menurut hemat penulis sangatlah tidak tepat mengingat :

  • UU No. 2 tahun 2004 tidak memberikan batas waktu penyelesaian maksimal selama 6 (enam) bulan tetapi 140 hari kerja yang tentu pasti lebih dari 6 bulan kalender apalagi bila banyak libur nasionalnya dalam periode penyelesaian tersebut;
  • Dalam prakteknya proses beracara di pengadilan hubungan industrial (PHI) hingga tingkat kasasi selalu lebih dari setahun dan yang paling lama adalah proses di tingkat kasasi yang selalu memerlukan waktu sekitar setahun. Padahal sesuai ketentuan pasal 115 UU No. 2 tahun 2004 tersebut, MA harus memberikan putusan di tingkat kasasi paling lambat 30 hari kerja sejak menerima permohonan kasasi.
  • Pekerja/Buruh yang menjalani proses PHK hingga tingkat kasasi selama lebih dari satu tahun tersebut, harus tetap memberikan nafkah pada keluarga dan membiayai pendidikan  anak-anaknya sehingga jika pekerjaan tersebut adalah satu-satunya sumber nafkah keluarga maka selama itu pula keluarga tidak dapat dinafkahi

Hendaknya MA tidak menjadikan pertimbangan tersebut secara tetap dalam kasus berikutnya karena upah adalah hak buruh yang penuntutannya tidak mengenal daluwarsa sebagaimana putusan  Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012. Akan lebih bijak jika yang dilakukan oleh MA adalah membenahi proses beracara PHI agar sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Undang-undang yaitu selama 140 hari kalender sehingga tercipta kepastian hukum dalam proses beracara PHI dan tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu bagi para pencari keadilan.         

Majelis Hakim yang tidak memberikan putusan upah proses berarti telah tidak memberikan kepastian kelangsungan penghasilan kepada pekerja/buruh untuk menafkahi keluarganya sehingga bisa dikatagorikan juga telah melanggar hak konstitusional pekerja dan keluarganya, sebagaimana diatur pasal 28D Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Bagi perusahaan/pengusaha harus pula hati-hati dalam mengambil keputusan di bidang ketenagakerjaan agar tidak menimbulkan kerugian yang sebenarnya bisa dihindari bila mengerti dan memahami peraturan perundangan di bidang ketenagakerjaan yang berlaku. Pemimpin perusahaan (Direktur) dituntut harus bisa memahami secara komprehensif peraturan yang ada, bila tidak faham maka harus mempunyai staff yang mempunyai kapasitas yang mencukupi dalam pengelolaan sumber daya manusia di perusahaan agar bisa memberikan masukan-masukan yang benar sebelum memutuskan sehingga tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu di kelak kemudian hari.

It doesn't make sense to hire smart people and tell them what to do, we hire smart people so they can tell us what to do.

Adalah suatu ketololan bila kita mempekerjakan orang pandai kemudian menyuruhnya untuk melakukan apa-apa yang harus dikerjakannya, kita mempekerjakan orang pandai adalah agar mereka memberi masukkan apa-apa yang harus kita kerjakan. (Alm. Steve Jobs).

#upah proses

#PHK sepihak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun