Da Jefri akan memberikan passport mereka yang sudah di tempeli visa sebelum chek in.
Selama dalam perjalanan Amir ke Bandara di dalam Bus Damri, telepon genggam usangnya berdering silih berganti, telepon dari Etek, Angku juga Mamaknya dari Padang membujuk agar Amir membatalkan keberangkatannya. Jawaban Amir sudah pasti mengatakan tidak pada mereka, yang berarti dia tidak ingin membatalkan keberangkatannya. Amir tidak habis pikir, mengapa mereka semua sekarang jadi sibuk membujuk untuk membatalkan keberangkatannya? Sedangkan, saat Amir mengharapkan kedermawanan hati mereka untuk menyumbang membelikannya tiket, mereka semua satu suara untuk berkata tidak. Dan sekarang setelah dia mendapatkan tiket, mereka kembali satu suara mencegah Amir untuk pergi. Amir jadi benar-benar heran.!! Mereka pasti tidak pernah menyangka kalau Tuhan berlaku sekehendaknya memutar balikkan keadaan seketika sebelum mereka semua menyadari apa yang telah mereka lakukan. Mereka tidak menyangka kalau Tuhan memberikan kemurahanNya dari tangan orang lain, jika tangan yang diminta menutup. Mereka tidak menyangka kalau ada orang yang berbaik hati yang membelikan Amir tiket di saat yang kandung mengabaikanya. Amir jadi bingung, kalau maksud mereka mencegahnya pergi untuk kebaikannya? Tidak kah mereka ingat saat Amir tinggal di rumah neneknya waktu itu, Tek Ci adik mama Amir yang janjinya menanggung beras untuk Amir tiap bulannya kemudian memutuskannya hanya karena alasan Amir bercanda dengan anak Tek Ci yang katanya candaan Amir menyinggung perasaan Tek Ci. Apa mereka tidak ingat, dengan bantuan buku pelajaran pinjaman anak Mamak Dalan yang bersekolah di SMA 1 Padang satu tingkat di atas Amir, akhirnya Amir jadi juara kelas, kemudian untuk tahun selanjutnya Mamak Dalan tidak mau lagi meminjamkan buku anaknya kepada Amir. Apa mereka tidak ingat, Ongga adik mama Amir yang laki-laki telah berjanji memberikan Amir belanja sekolahnya namun juga memutusnya karena
alasan tak jelas. Belum lagi Amir harus berjuang mati-matian selama di perkuliahannya bukan untuk belajar tapi untuk bertahan hidup. Benar-benar mengherankan?
Tek Con yang katanya mau melakukan naik haji tahun besok akhirnya berkata di panggilan teleponnya,
"Baik selamat jalan semoga kita ketemu nanti di sana!" " Di sana dimana, Tek?" tanya Amir.
" Kemana tujuanmu. Tahun besok kan aku akan berangkat haji." kata Tek Con polos.
"Tapi tujuanku dan Tek Con beda, aku ke Russia, sedang Tek Con ke Arab." kata Amir kebingungan.
"Ya apa pun itu sampai ketemu nanti di sana."
Amir menepuk jidatnya. "Memangnya aku sekarang mau ke Mekkah?!" Sesampai di Bandara, di keberangkatan Internasional, Da Jefri telah dikerumuni mereka yang mau terbang didampingi keluarganya. Di sana terlihat, siapa dan berstatus apa. Mereka yang berpunya diantar keluarganya berduyun- duyun, koper bawaan mereka tidak sedikit. Sudahlah satu koper besar khas orang ke luar negeri, tambah lagi koper kecil dan tas sandang. Beberapa diantara mereka masih berpelukan dengan anggota keluarganya, terlihat yang ini ni pasti anak manja tidak mau pisah dari keluarganya. Beberapa orang dari mereka sudah memegang passport dan tiketnya. Keberangkatan saat itu adalah empat orang. Dua orang di Moscow, dua orang lagi kota di luar Moscow, kalau tidak salah dengar Ekaterenburg. Amir malam itu datang hanya seorang diri, dengan penampilan seadanya bersama tas sandang butut yang setia menyertainya selama ini bolak balik, Padang-Muaro Bungo-Lampung-Jakarta. Da Jefri langsung tertawa melihat penampilan Amir. Dia berkata kepada yang lainnya,
"Hey.. kalian mau liat gak orang yang mau ke Rusia dengan gaya paling irit." tanya Da Jefri memancing perhatian, seketika mereka yang langsung melihat ke
Da Jefri lalu ke Amir.
Mereka semua tersenyum, sedang Da Jefri tertawa terbahak-bahak. Amir tersipu malu tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ini dari pada kamu kosong, lebih baik kamu bawa koper ini, ini barang- barang pesanan Permira yang membuat baju sablonan di Indo." kata Da Jefri sambil memberikan koper besar ke Amir.
Amir pun menerimanya. Kemudian Da Jefri memberikan passport Amir yang telah ditempeli visa berlaku tiga bulan dan tiketnya.
"Ini passport dan tiketmu, sebentar lagi chek in. Kamu bisa antri di sana bersama yang lain." kata Da Jefri sambil menunjukkan tempat chek in yang bertuliskan Emirates.
Amir menggenggam tangan Da Jefri sambil berbisik, "Terima kasih Da."
Da Jefri seperti mengabaikannya, lalu menggiring mereka ke tempat antrian yang bertulis Emirates. Tak beberapa lama kemudian, Amir dan tiga temannya lainnya chek in dan masuk ke gate tempat boarding. Amir sudah tidak bisa melihat Da Jefri lagi hingga mereka melakukan boarding, masuk ke pesawat Emirates Boing 777. Amir dapat tempat duduk di tengah di apit dua temannya di kelas ekonomi. Dia hanya diam tidak bisa berkata apa-apa, berdoa menunggu pesawat itu take off. Beberapa saat kemudian, pesawat merangsek, perlahan, meninggalkan gate, menjauhi bandara di kegelapan malam. Dari Jendela di samping Yogi, teman sebangkunya, Amir melihat bandara makin lama makin menjauh dan mengecil. Tak lama kemudian pesawat berhenti bergerak, hening, seolah tidak pernah terjadi satu apa pun sebelumnya. Mesin pesawat kembali dihidupkan, derumannya jauh lebih keras dari sebelumnya, semakin keras, keras, dan keras lagi. Boing 777 itu bergerak memacu laju badannya perlahan, kemudian agak cepat, cepat, dan lebih cepat lagi. Hingga kemudian terasa betapa pesawat itu sudah tidak mencacah tanah lagi. Badannya mengangkat
perlahan, meninggi, dan terus meninggi mencabik gelapnya malam. Bandara Sukarano-Hatta sekarang sudah benar-benar mengecil terlihat dari jendela, hampir tak terlihat lalu menghilang. Pemandangan sudah digantikan gemerlap kota Jakarta larut di kegelapan malam. Temaram lampu kota itu pun kemudian perlahan menghilang berganti dengan langit malam yang kelam pekat dan kedipan lampu sayap pesawat. Amir telah lepas landas, meninggalkan Bandara Sukarno Hatta, meninggalkan Jakarta, meninggalkan Indonesia. Dada Amir terasa sesak, dia tertunduk, susah menahan sebak. Tidak terbayang betapa hari-hari yang pahit di Padang terbayarkan oleh keberangkatan itu. Bismillah. Semoga tercapai cita-cita dan tujuan, terlunaskan semua hinaan, terbangkitkan batang terendam.
Selama penerbangan pilot silih berganti memberikan pengumuman dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Menjelang tidur penumpang disuguhkan santapan makan malam oleh pramugari-pramugarinya. Selepas makan malam, Amir hendak ke toilet, pintu toilet sangat aneh, Amir dia tidak tahu harus mendorong atau menggesernya. Di mencoba untuk menggeser namun dari arah berlawanan, pintu keluar dari bingkainya. Pramugara berkulit putih dan berambut pirang yang kebetulan melintas, terkejut,matanya langsung melotot melihat ke Amir.
"What are you doing? If this door is broke you must pay for this?" kata pramugara sambil tertawa sinis, di selingi tawa penumpang berkulit putih lain yang kebetulan juga melihatnya.
"Bodo amat." pikir Amir, kenapa bikin pintu toiletnya aneh seperti itu. Delapan jam kemudian, pesawat Emirates yang Amir tumpangi mendarat di Dubai. Amir baru sadar ternyata pesawat ini tidak langsung sampai ke Moscow, namun harus transit untuk beberapa waktu untuk ganti pesawat penerbangan Dubai-Moscow. Bandara Internasinal Dubai sangat besar, beberapa kali dari ukuran Bandara Sukarno Hatta. Di setiap gatenya berjejer pesawat Emirates,
Boing 777 atau Airbus A380. Semua jelas terlihat dari dalam terminal. Tiap menit ada saja pesawat yang takeoff atau landing. Pemadangan di dalam terminalnya sangat rapi dan mewah, di sana di jual barang-barang branded tanpa di kenakan pajak, yang pasti harganya selangit seperti baju-baju, jam tangan dan parfum ternama. Kemanapun Amir melangkah di terminal itu tercium aroma sedap dari toko parfum di beberapa tempat sekitar. Ternyata untuk penerbangan ke Moscow, Amir dan teman-temannya harus pindah terminal, gate yang di tuju ada di terminal sebelahnya lagi. Untung waktu transitnya cukup lama, jadi mereka tidak perlu terburu-buru. Mereka berjalan perlahan sambil cuci mata, melihat barang-barang ternama yang kalau di Indonesia mungkin hanya akan ada di mall-mall ternama seperti Plaza Indonesia. Untuk pindah gate, mereka harus ke lantai paling dasar terminal itu hingga didapat kereta bawah tanah khusus angkutan antar terminal di dalam bandara yang tidak ada pengemudinya. Cukup mencengangkan, tapi begitulah adanya bandara Dubai. Sampai di gate yang dituju, mereka langsung bermalas-malasan di kursi panjang di koridor itu. Masih ada waktu dua jam lagi sebelum boarding. Jadwal keberangkatan peawat mereka 12.20 siang waktu setempat.
Sampai akhirnya waktu boarding untuk penerbangan selanjutnya, Amir dan teman-temannya ikut ngantri masuk ke pesawat. Sekarang penampakan sudah berubah, kebanyakan penumpang yang akan menaiki pesawat itu sudah mereka orang yang berkulit putih, mata biru dan rambut pirang. Percakapan mereka satu sama lain tidak satu pun yang bisa di pahami oleh Amir. Sesekali mereka tertawa lepas, berpenampilan jauh lebih sederhana di bandingkan bule-bule yang menumpangi pesawat dari Jakarta ke Dubai. Amir menduduki tempat duduknya di pinggir dekat jendela. Betapa pemandangan Dubai sangat panas siang itu. Terlihat debu-debu yang berterbangan terbawa angin dari gurun sekitar luar bandara di antara lalu lintasnya pesawat. Kali ini, tidak beberapa menit dari gate, pesawat langsung take off. Dari atas, terlihat pemandangan Dubai dengan Burj
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI