Keputusan Presiden menggantikan "menteri abadi" itu tentu bukan keputusan mudah. Sudah sejak lama banyak yang bersuara, kenapa kementerian masih di isi oleh orang lama. Banyak yang curiga orang lama itu pesananan. Terlepas kita tahu, seperti apa kualitas dan dedikasi Sri Mulyani, ekonom yang ikut membidani reformasi tahun 98 itu.
Demo damai yang berujung anarkis yang "ditunggangi" itu akhirnya jadi momentum politik buat presiden, ada banyak PR yang perlu dibenahi. Rakyat sudah jengah dengan perilaku oknum pejabat yang kurang peka dengan keadaan rakyat. Tidak simpatinya wakilnya di gedung mewah itu. Nah di sini, terjadi adu kepentingan, mana yang harus didahulukan: inginnya rakyat atau inginnya sosok orang?
Prabowo tentu saja jeli melihat ini. Meski pun terlihat adem dan seolah damai, ada yang terus mengusik jiwanya. Sebagai jiwa yang ditempa lama sebagai prajurut dan lama pula diberi wejangan ekonomi langusung dari Bengawan Ekonomi kawakan. Situasi sekarang bukan hal yang musyik baginya, hanya saja semua butuh momentum.
Membaca keputusan presiden sebenarnya bukan hal aneh. Semenjak awal sudah terlihat ada keinginan perombakan cuma menunggu momen yang pas. Singkatnya, demontrasi kemarin itu waktu yang pas. Demontrasi itu akibat dari kebijakan yang terasa kurang memihak ditambah dengan ulah oknum legislator yang kurang peka dengan realitas sosial.
Namun, apa yang diharapkan dari perombakan kabinet itu?
Tentu saja kebijakan yang lebih segar agar bisa menghangatkan ruang sosial yang terasa masih gersang. Kita butuh kebijakan yang meneduhkan. Membuat rakyat terasa dipayungi aspirasinya. Merasa terwakili inginnya. Syukur merombak semua kebijakan yang merasa menghambat investasi juga terasa membebani tak sedikit warga negara yang tengah menjerit menahan luka.
Semoga perombakan memberi kabar gembira, bagaimana pun itu ikhtiar pemerintah demi memperbaiki yang kurang sempurna selama ini. Para menteri itu bukan tidak bekerja tapi mungkin terasa kurang maksimal. Lagian pergantian itu bentuk me-refresh nalar kita, bahwa anggapan ada "matahari kembar" di pemerintahan itu tidak benar.
Di masa yang singkat ini pemerintah ingin maksimal mengejar target program-nya. Mana yang sangat urgen-nya tentu saja jadi proritas. Lima tahun bukanlah waktu lama untuk membenahi segala lini yang kurang digarap pemerintah sebelumnya. Apalagi menyoal pemberantasan korupsi yang berulang kali disuarakan presiden.
Tak hanya di dalam negeri, di forum dunia presiden kerapkali bicara lantang soal pemberantasan korupsi di negerinya. Koruptor adalah musuh negara. siapa pun dia dan bagaimana alasannya. Entah berapa triliunan kekayayaan negara terkuras oleh tangan-tangan nakal itu.
Upaya presiden, seperti yang dikatakan Prof. Siti Zahro di layar kaca, perlu dan wajib kita bantu. Tugas membenahi akhirnya bukan hanya tugas pemerintah. Tugas itu terletak dipundak seluruh elemen bangsa. Kita bisa melakukan semampu dan sebagaimanan ranah yang kita mampu.
Oleh sebabnya, perombakan ini seperti sinyal dan jawaban yang selama ini masih tergantung, apakah presiden murni menjalankan kebijakan tanpa disinari matahari semu yang kerap diramalkan pakar politik. Jawabnya, "saya berdikari." Wallahu'alam. (**)Â