Semakin ke sini sebenarnya kita sedang menuju keabadian. Usia makin berkurang, kenikmatan berkurang dan harapan makin menjulang. Semakin kita menjauh dari Allah, sejatinya kita sedang menuju pada-Nya. Tiap waktu yang terbuang sia-sia itu kerugian demi kerugian yang kita reguk.
Kita merasa 'tahu' hidup ini sementara. Kita pun 'merasa yakin' akan pesan agama di kitab suci, namun semua seperti bayangan ketika berhadapan dengan kenyataan pahit. Hidup kita penuh masalah dari soal ekonomi sampai pada krisis jati diri. Terjadi kegundahan antara meyakini 'kesejatian' dan dirundung kepiluan keadaannya.Â
Kalau sudah begitu, kenapa di lisan dan perbuatan acapkali mengingkari?
Barangkali karena kita memahami keyakinan belum dengan bertasawuf. Tasawuf menurut Abuya Uci adalah seni dalam beragama. Kita beragama dengan kesadaran juga dengan penuh keindahan.
Karena, hanya mereka yang menghayati sesuatu itulah mereka yang terjaga. Merasa diperhatikan, diawasi dan merasa terus disirami dengan kesejukan di jiwanya.
Jiwa yang sejuk bukan lahir tanpa ikhtiar. Bukan datang begitu tanpa doa. Ia lahir karena latihan (riyadah). Besar oleh konsisten (istiqomah). Menyatu oleh kecintaan murni (mahabbah).
Wajar karenanya al-Qur'an mensifati wali Allah itu mereka yang tidak takut dan cemas. Takut dengan segala masalah. Cemas oleh segala intimidasi, kesulitan dan tekanan akan keyakinan yang ia perjuangkan.
Di mana sih letaknya sejuk dan nyaman?
Di hati. Hati yang senantiasa jernih oleh renungan. Hati yang selalu tersirami oleh lisan penuh dzikir. Hati yang penuh oleh prasangka baik. Hati yang selaras antara lisan dan perbuatan untuk tadaru' pada yang Maha Kuasa.
Namun mungkinkah itu, sedang kita bukan ulama pun kalangan penuh puji?
Perlu kita catat dan ingat, agama ini kunci selamat bukan untuk satu invidu. Bukan untuk satu golongan, bangsa dan satu zaman. Agama ini kabar gembira untuk siapa yang peka jiwanya dan berusaha mendapatkan ridha-Nya di setiap keadaan.