Tadi malam, aku dan Asim---adikku, terlibat diskusi yang alot. Kami sama memikirkan nasib literasi di kampung kami, bagaimana anak-anak yang katanya jadi cikal generasi emas itu tidak gagap dengan perubahan zaman.
Kami sepakat memang bakal melakukan gerakan kecil, cuma yang membuat kami bingung, konsepnya itu seperti apa. Apakah berbentuk komunitas, atau sekedar tongkrongan anak ngopi saja yang kerapkita lihat di persimpangan jalan.
Latar belakang obrolan ini sendiri berawal kami yang agak masygul dengan sepakterjang ormas. Akhir ini kita dibuat gemas dengan ulah ormas yang bersikap di luar nulur. Mereka membuat keresahan public dengan aksi dan sikapnya, rasanya tak perlu dibeberkan di sini. Cukup tempe saja!
Kita itu heran, kenapa banyak "elit ormas" lebih suka bermain di sirkel kekuasaan daripada turun ke lapangan. Di lapangan banyak sekali medan juang yang perlu dibereskan, atau minimal diberi ruang solusi.
Hari ini kita merasakan gap yang begitu nyata, antara rakyat dan ormas yang (katanya) menjadi refresentatif rakyat itu sendiri. Bagaimana keluh dan kesah rakyat yang terdeteksi pada jadinya menguap saja. Herannya kita, apa fungsi dan wewenangnya kalau jadinya sebagai rakyat kita belum merasa terwakili. Apa maksud dari refrentatif itu?
Kembali ke obrolan awal, di sini kami merasa resah, bagaimana agar anak-anak atau remaja kesadaran literasinya tinggi. Ormas yang medan garapnya pendidikan dan kebudayaan seharusnya berada di jalur ini, entah kenapa kok gerakannya terkesan mandul.
Misalnya, pemerintah sedang merangkul beberapa ormas untuk mensosialisasikan 4 pilar kebangsaaan. Gerakan sosialiasi itu tentu saja tidak gratis, ada harga yang di-deal yang bakal dikeluarkan pemerintah. Karena ada "harga" ini maka tak sedikit ormas yang tertarik.
Hal yang memicu tanya kami, katakan sudah ada ormas yang sepakat bakal mengadakan sosialiasi. Sosialiasinya ke siapa dan bagaimana? Apakah benar akan di-edukasi ke warga masyarakat umum atau hanya ke masyarakat yang terdaftar di ormas-nya saja.
Banyak kasus terjadi sosialiasi bukan diarahkan pada masyarakat yang secara nasib kurang beruntung, justeru pada mereka anggota ormas yang secara literasi sangat memahami 4 pilar itu. Akhirnya apa? Sosialisasi itu pun tidak tepat sasaran.
Yang tidak tahu, tetap saja tidak tahu. Bahkan kalangan pelajar yang seharusnya tahu, bisa kita perhatikan masih banyak yang belum tahu. Kesadaran membaca pun masih kurang menggembirakan, alih-alih memikirkan nasib generasi emas nanti, sekarang ini kita masih cemas dengan generasi yang ada.
Kalau kita mencari siapa yang salah, penulis yakin, siapa pun bisa disalahkan. Termasuk sasaran empuk ialah pemerintah. Pemerintah tidak becus mengelola negara. Dengan segala kewenangannya, pada jadinya belum menghadirkan kesejahteraan dalam bidang Pendidikan.
Lantas, bagaimana dengan kita, apa yang telah dan bisa kita lakukan untuk menghapus kecemasan, di tahun 2045 nanti, benar akan hadir generasi emas yang bakal mempelopori peradaban baru?
Diksusi kami pun sampai pada kesimpulan, kalau tidak sekarang, minimal ada rencana. Karena malam semakin pekat, selimut telah bersiap mengantar ke alam mimpi. Dan, bismika allahumma ahya wa amut. (**)
Pandeglang, 3 April 2025 Â 20.35
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI