Apakah lebaranmu menyenangkan? Saya yakin, terbesit kumpulan jawaban di kepalamu, yang siap dimuntahkan. Jawaban itu pasti beragam dan kadang tendensinya pun ritualistik. Karena itu, butuh waktu kita berpikir menjawabnya. Padahal tak dipikirkan pun gampang saja menjawabnya. Entah kenapa susah menjawabnya dengan jujur.Â
Kalau lagi ditanyakan, apa alasan kita bahagia dengan hadirnya idul fitri nan suci ini? Biasanya kita menjawab sok puitis. Padahal kalau kata Cak Nun, alasan kita senang berlebaran itu karena kita berhenti puasa dan bebas makan pagi lagi. Sedangkan faktor-faktor lain sebenarnya pelengkap saja. Kita lebih "merasa bebas" bisa makan pagi-siang lagi, bukan memikirkan "keutamaan di 30 hari ramadan" yang istimewa.
Kalau dipikir-pikir, ya juga sih. Bukannya persoalan makan ini memang sangat intim sekali dalam kehidupan manusia. Makan untuk hidup, bahkan ada yang berpikir hidup untuk makan. Kita bisa menyangkalnya, kenyataannya, fenomena itu memang ada.
Seperti yang ditersebar video di akun x, di mana salah satu tukang cukur yang kebanjiran job menjelang lebaran. Saking semangatnya, sehari mampu mencukur 30-an rambut orang. Karena terlalu semangat sampai kelelahan lantas butuh oksigen untuk bernafas. Keputusan tukang cukur itu patut diacungkan jempol, karena tak ingin konsumennya kecewa.
Sebagai orang berpengalaman seharusnya bisa menaksir, kalau job itu hanya membuatnya lelah, kenapa tidak diambil ala kadarnya. Semampu yang ia mampu. Namun, atas alasan yang ia hanya tahu maka diborong semua sampai ia hampir pingsan. Apa karena ia sedang memikirkan ladang untuk bekal makan besok atau bekal pulang makan di halaman kampungnya, entahlah.
Soal makan ini memang sangat penting, al-Qur'an sampai harus memberi anjuran kita makan, asal halalan toyyiban. Status halal itu baik dzat-nya mau pun prosesnya mencarinya. Tidak serta merta halal tapi prosenya dapat mengibuli orang.
Selain itu harus tayyib juga, yakni baik. Baik kondisi fisiknya maupun proses pengolahannya. Daging ayam itu halal, disembelih dengan tata cara hukum juga. Statusnya halal, tapi menjadi tidak baik karena prosesnya yang kurang memastikan kebersihannya juga amjuran agama. Atau daging kambing halal memang, tapi tidak baik orang yang punya riwayat masuk ke politiknya. Sampai di sini yang perlu dan harus dipikirkan, ternyata banyak orang sukses dan rela menahan makan. Ujungnya, laa tustrufu. Jangan berlebihan. (**)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI