Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, mental, politik dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memaknai Persitiwa Hari Lebaran

2 April 2025   00:09 Diperbarui: 2 April 2025   00:09 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tradisi liberan. (CBNC Indoensia)

Apakah lebaranmu menyenangkan? Saya yakin, terbesit kumpulan jawaban di kepalamu, yang siap dimuntahkan. Jawaban itu pasti beragam dan kadang tendensinya pun ritualistik. Karena itu, butuh waktu kita berpikir menjawabnya. Padahal tak dipikirkan pun gampang saja menjawabnya. Entah kenapa susah menjawabnya dengan jujur. 

Kalau lagi ditanyakan, apa alasan kita bahagia dengan hadirnya idul fitri nan suci ini? Biasanya kita menjawab sok puitis. Padahal kalau kata Cak Nun, alasan kita senang berlebaran itu karena kita berhenti puasa dan bebas makan pagi lagi.  Sedangkan faktor-faktor lain sebenarnya pelengkap saja. Kita lebih "merasa bebas" bisa makan pagi-siang lagi, bukan memikirkan "keutamaan di 30 hari ramadan" yang istimewa.

Kalau dipikir-pikir, ya juga sih. Bukannya persoalan makan ini memang sangat intim sekali dalam kehidupan manusia. Makan untuk hidup, bahkan ada yang berpikir hidup untuk makan. Kita bisa menyangkalnya, kenyataannya, fenomena itu memang ada.

Seperti yang ditersebar video di akun x, di mana salah satu tukang cukur yang kebanjiran job menjelang lebaran. Saking semangatnya, sehari mampu mencukur 30-an rambut orang. Karena terlalu semangat sampai kelelahan lantas butuh oksigen untuk bernafas. Keputusan tukang cukur itu patut diacungkan jempol, karena tak ingin konsumennya kecewa.

Sebagai orang berpengalaman seharusnya bisa menaksir, kalau job itu hanya membuatnya lelah, kenapa tidak diambil ala kadarnya. Semampu yang ia mampu. Namun, atas alasan yang ia hanya tahu maka diborong semua sampai ia hampir pingsan. Apa karena ia sedang memikirkan ladang untuk bekal makan besok atau bekal pulang makan di halaman kampungnya, entahlah.

Soal makan ini memang sangat penting, al-Qur'an sampai harus memberi anjuran kita makan, asal halalan toyyiban. Status halal itu baik dzat-nya mau pun prosesnya mencarinya. Tidak serta merta halal tapi prosenya dapat mengibuli orang.

Selain itu harus tayyib juga, yakni baik. Baik kondisi fisiknya maupun proses pengolahannya. Daging ayam itu halal, disembelih dengan tata cara hukum juga. Statusnya halal, tapi menjadi tidak baik karena prosesnya yang kurang memastikan kebersihannya juga amjuran agama. Atau daging kambing halal memang, tapi tidak baik orang yang punya riwayat masuk ke politiknya. Sampai di sini yang perlu dan harus dipikirkan, ternyata banyak orang sukses dan rela menahan makan. Ujungnya, laa tustrufu. Jangan berlebihan. (**)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun