Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia terus berupaya memperbaiki program dan regulasi untuk mengatasi masalah gizi. Target utama: menurunkan prevalensi stunting dari 21,5 persen (2023) menjadi 19,8 persen pada 2024. Namun, hingga kini laju perubahannya masih melambat.
Di tengah berbagai strategi yang digulirkan, pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) yang menganjurkan masyarakat mengonsumsi dua liter susu per hari sontak mengundang polemik. Sebagian menilainya sebagai langkah berani, namun banyak pula yang mempertanyakan: apakah ini realistis? Ilmiah? Relevan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia?
Dalam iklim komunikasi publik yang semakin terbuka, anjuran semacam ini tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab untuk menyampaikan kebijakan berbasis bukti, bukan sekadar omon-omon.
Tidak Cukup Bukti
Hingga hari ini, tidak ada satu pun negara dengan sistem gizi mapan yang menetapkan dua liter susu per hari sebagai kebutuhan standar. Di Amerika Serikat, Dietary Guidelines for Americans menyarankan dua hingga tiga porsi dari kelompok susu, yang dapat berupa susu cair, keju, atau yoghurt. Negara-negara Eropa yang dikenal sebagai konsumen susu tertinggi pun tak merekomendasikan lebih dari 2--4 porsi per hari.
Jepang, sebagai rujukan global dalam urusan kebijakan gizi, justru merekomendasikan dua porsi produk susu per hari (400--500 ml). Begitu pula, negara-negara Skandinavia bahkan menekankan keragaman sumber pangan ketimbang dominasi satu komoditas. Maka, jika negara-negara maju justru mengedepankan diversifikasi, mengapa Indonesia tiba-tiba mendorong masyarakatnya meminum dua liter susu per hari tanpa bukti ilmiah yang kuat?
Susu memang sumber gizi yang penting. Mengandung kalsium, protein berkualitas, vitamin D, dan fosfor. Namun dalam ilmu gizi, prinsip utama adalah moderasi dan keseimbangan. Berdasarkan WHO, IOM, dan Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia, kebutuhan kalsium anak-anak berkisar 1.000--1.200 mg per hari. Satu gelas susu mengandung 300 mg kalsium. Dengan satu liter saja (sekitar 4 gelas), kebutuhan ini sudah tercapai.
Kelebihan kalsium bukan tanpa risiko, mulai dari gangguan penyerapan mineral lain seperti zat besi, konstipasi, hingga pertumbuhan. Tambahan kalori dari dua liter susu mencapai 1.200 kkal, atau separuh kebutuhan energi anak. Tanpa aktivitas fisik sepadan, ini membuka jalan menuju obesitas dan sindrom metabolik sejak dini.
Lebih dari itu, sekitar 20--30 persen masyarakat Indonesia mengalami intoleransi laktosa. Mengonsumsi susu dalam jumlah besar dapat menimbulkan gangguan pencernaan seperti diare dan perut kembung. Artinya, anjuran ini bukan hanya tidak inklusif, tapi juga berisiko bagi sebagian besar rakyat yang justru menjadi target utama perbaikan gizi nasional.
Siapa yang Diuntungkan?