Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siswa Izin Membuat KTP dan Pilkada

27 Oktober 2020   16:13 Diperbarui: 27 Oktober 2020   16:16 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KTP (Tribunnews.com)

Saya perhatikan, selama pelajaran daring, banyak sekali siswa yang izin tidak bisa mengikuti pembelajaran. Dari izin yang bersifat penting, sampai yang tidak penting sama sekali. Diantaranya, izin cap 3 jari, izin buka tabungan, izin membuat KTP, dan masih banyak lagi.

Dengan sangat mudahnya siswa izin kesini, izin kesana, izin buat ini, izin buat itu, terasa jalannya pembelajaran semakin terganggu. Apakah ini fenomena baru? Apakah ini salah satu dampak pembelajaran daring?

Dinamika Perizinan

Sebelum kita membahasnya, mari kita perhatikan dulu definisi izin dalam KBBI. Izin berarti pernyataan mengabulkan (tidak melarang dsb); persetujuan, membolehkan. 

Dari definisi ini, kita bisa pahami bahwa sebenarnya izin itu harus diminta untuk mendapatkan pengabulan, persetujuan dan pembolehan. Jika izin harus diminta, berarti juga harus ada pihak yang memberikannya.

Sayangnya, di zaman sekarang, izin banyak disalah gunakan. Izin melakukan A, yang dilakukan B. Yang paling sering terjadi adalah izin melakukan A, yang dilakukan A dan B. 

Yang kedua, setidaknya lebih baik, karena apa yang dilakukan ada kesesuaian dengan izin yang diminta, meskipun ada embel-embel tambahannya. Orang menyebutnya sekalian, sambil menyelam minum air.

Misalnya, siswa meminta izin membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk) di kecamatan untuk keperluan kependudukan. Kenyataannya, setelah KTP selesai, dilanjutkan main ke mall dan makan siang di rumah makan. Nah, ini yang terkadang sering terjadi.

Dalam ranah lebih formal, hal ini juga bisa terjadi pada acara-acara resmi kunjungan kerja. Izin kunjungan kerja tiga hari, dipakai untuk kerja satu hari, sisanya dipakai untuk jalan-jalan dan santai-santai.

Apakah ini benar? Dalam hal ini, benar dan salah dipisahkan oleh sebuah benang tipis. Para pelakunya pasti tidak merasa bersalah, dan tidak mau juga disalahkan. 

Berbagai argumen dikemukakan. Misalnya, kunjungan dipadatkan di hari pertama, sehingga hari kedua dan ketiga bisa dimanfaatkan. Argumen lain, hari kedua dan ketiga dijadikan alasan untuk membuat laporan kegiatan. 

Benar dan salah terlihat begitu subjektif, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. 

Dalam hal yang lain, terkadang perizinan disalah artikan.  Perbedaan antara meminta izin dan memberi informasi seolah dinafikan. Niatnya meminta izin, tetapi kenyataannya memberi informasi. Hal inilah yang mungkin bisa dikatakan secara jelas bahwa hal ini adalah sesuatu yang kurang tepat.

Misalnya, di pagi hari orang tua mengirim surat "Anak saya ijin tidak masuk kelas hari ini karena harus ke kecamatan, akan membuat KTP. Nanti siang, setelah selesai urusan, akan ikut lagi pembelajaran daring."

Jika kita perhatikan, kalimat diatas adalah kalimat memberikan informasi. Meskipun ada kata izin di dalamnya. Sebenarnya, kata izin tersebut tak bermakna meminta izin. 

Untuk surat seperti itu, rasanya pemberi izin dipaksa menjawab "ya, diizinkan." Sebabnya, kalau pun menjawab "tidak diizinkan", toh siswanya pastinya sudah berangkat ke kecamatan. Jadi, dijawab atau tidak dijawab tak akan bermakna apa-apa.

Inilah yang sering terjadi di masa pembelajaran daring. Karena siswa di rumah, orang tua di rumah, dan pembelajaran juga di rumah, membuat segala sesuatunya dimudahkan. Karena online, untuk masuk dan keluar kelas sangat mudah, bahkan mungkin tak terasa.

Pilkada

Lantas, apa hubungan masalah perizinan ini dengan Pilkada?

Jika diperhatikan, dari awal saya memberikan contoh dengan izin mengenai pembuatan KTP. Sebabnya, baru-baru ini banyak sekali siswa yang meminta izin untuk hal ini. 

Saya menduga, bukan khawatir, ada hal-hal politis terkait banyaknya siswa yang meminta izin membuat KTP. Ini hanya analisis nalar saya saja sebagai orang awam. Bisa benar, bisa juga tidak.

Mengapa saya menduga seperti itu? Tak bisa dipungkiri, KTP menjadi barang penting di masa Pilkada. Untuk mencalonkan diri sebagai kontestan Pilkada melalui jalur independen diperlukan sejumlah KTP. Begitu juga untuk menggunakan hak pilih pada waktunya nanti, pastinya KTP diperlukan.

Saya sengaja mengatakan, "Saya menduga, bukan khawatir..." Karena sejatinya, siswa-siswa yang sudah cukup umur untuk menggunakan hak pilihnya, memang perlu diberi kesempatan untuk memahami politik. 

Jadi, tidak perlu dikhawatirkan jika siswa membuat KTP menyiratkan hal-hal yang berbau politis. Memang sudah waktunya, dan memang sudah sewajarnya.

Yang menjadi konsiderasi saya adalah jika hal tersebut sudah mengganggu pendidikannya. Kontestasi politik seperti Pilkada seharusnya menjadi salah satu bagian pembelajaran bagi siswa, bukan justru mengganggu pembelajarannya.

Menurut saya, semua itu kembali lagi bagaimana siswa dan orang tua bisa lebih bijak dalam menyikapi masalah perizinan. Membuat KTP boleh, untuk apapun alasannya, politis atau tidak politis,  tetapi ada baiknya prosedur meminta izin diperhatikan dengan baik, agar tidak mengganggu pembelajaran. 

Alhasil, menjelaskan masalah perizinan adalah bagian dari pendidikan penanaman karakter pada siswa. Kedisiplinan, kejujuran, etika dan moral sangat penting dalam konteks perizinan.

Selain itu, Pilkada akan sangat ditentukan oleh siswa-siswi sebagai pemilih muda. Jika siswa berkarakter, maka mereka pun akan memilih para pemimpin yang berkarakter juga. 

Bukankah ini juga hal yang penting? Menurut saya, inilah sejatinya korelasi antara siswa izin membuat KTP dan Pilkada yang akan segera dilaksanakan.

[Baca Juga: Jika Orangtua (Pemerintah) Menyerah, Bagaimana dengan Anak (Rakyat)?]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun