Mohon tunggu...
Mahendra Paripurna
Mahendra Paripurna Mohon Tunggu... Administrasi - Berkarya di Swasta

Pekerja Penyuka Tulis Baca, Pecinta Jalan Kaki dan Transportasi Umum yang Mencoba Menatap Langit

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Wahai Ayah, Kenangan Apa yang Ingin Kau Wariskan untuk Bekal Putrimu Bercerita?

25 Oktober 2020   20:52 Diperbarui: 28 Oktober 2020   10:15 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Daniela Dimitrova dari Pixabay

Saat itu sudah masuk waktu shalat dzuhur. Aku bergegas menuju mushola rumah sakit untuk shalat. Aku berdoa dalam sujud panjangku agar istri dan anakku dapat selamat dan terlahir dengan fisik yang normal.

Dalam khusuknya aku berdzikir. Saudaraku yang kebetulan ikut mendampingi menghampiriku mengabarkan bahwa anakku sudah lahir. Alhamdulillah. Penuh perasaan bahagia sekaligus khawatir aku segera menuju ruang persalinan. 

Kulihat istriku di atas ranjangnya sedang didorong ke ruang pemulihan. Terlihat wajah istriku yang lemas dan pucat sepertinya masih terpengaruh efek obat biusnya. Dokter dan perawat mengucapkan selamat dan menjelaskan bahwa kondisi keduanya baik-baik saja.

Aku diminta ke ruang bayi untuk melihat putri kecilku. Disini aku mendengar pertama kali tangisannya. Aku perdengarkan di kedua telinganya suara ayahandanya mengumandangkan adzan dan iqamah. Ini adalah pendidikan awal dan ajakan pertama untuk putriku untuk menjalankan kewajiban shalat lima waktu.

Istriku memutuskan untuk berhenti bekerja demi mengurus putri kami agar tidak merepotkan ibuku yang sudah sepuh waktu itu.

Putriku tumbuh dengan sehat. Sering kuputarkan cd ayat-ayat suci Al Qur'an untuk menemani tidurnya. Aku berharap dia akan tumbuh menjadi seorang putri yang dekat dengan Al Qur'an.

Aku dan Putri ku - Doc.: Mahendra Paripurna
Aku dan Putri ku - Doc.: Mahendra Paripurna
Setelah kelahirannya tersebut ternyata itu bukanlah satu-satunya pengalaman putriku bersentuhan dengan rumah sakit. Terhitung sudah dua kali dia harus dirawat di rumah sakit karena infeksi lambung. Dan aku berusaha menjadi ayah yang baik dengan menungguinya secara utuh di rumah sakit. Aku tak mau satu momen penting pun lewat dari putriku tanpa ada aku di sisinya. Aku rela menghabiskan jatah cutiku demi mendampinginya.

Demi untuk mencoba hidup mandiri aku sekeluarga pindah tempat tinggal di sekitar tempat kerjaku. Di sebuah rumah kontrakan kecil ala kadarnya dengan kamar mandi bersama untuk dua rumah. Untuk air masih menggunakan pompa tangan.

Tapi aku cukup bahagia karena dekat dengan kantor waktuku untuk bercengkrama dengan putriku lebih banyak. Sebelum berangkat kerja aku masih sempat menggendongnya dan menyuapkan nasi sambil berkeliling melihat jalanan.

Dari hasil menabung aku berhasil membeli rumah tentu saja dengan mencicil dan kupilih rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ibuku. Sehingga tidak terlalu jauh waktu yang kutempuh jika ingin bertemu ibu. Setelah renovasi ala kadarnya rumah tersebut bisa kami tempati.

Di rumah baru kami karena jaraknya jauh dari tempat kerjaku otomatis waktuku bertemu putri semakin berkurang. Tapi aku selalu meluangkan waktuku sepulang kerja untuk bercakap-cakap dengannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun