Perjalanan hidup bersama putri cantikku di mulai setelah 2 tahun pernikahan bersama istriku.
Aku memang menunda 1 tahun memiliki anak untuk mempersiapkan dana dan kebutuhan untuk kelahiran anakku. Karena aku tahu biaya persalinan lumayan mahal apalagi jika sampai melakukan operasi caesar.Â
Maklum aku hanyalah pegawai rendahan walau saat itu istriku juga masih bekerja untuk sekedar membantu kehidupan keluarga. Karena belum memiliki rumah sendiri aku masih tinggal bersama ibuku beserta 2 saudaraku. Kakakku kebetulan sudah pindah rumah karena sudah membeli rumah di daerah Jonggol.
Proses kelahiran putriku tergolong sulit. Sebelumnya bidan tempat memeriksakan kehamilan sudah memprediksi hal ini.
Dari hasil usg janin bayiku berukuran besar di atas 4 kg beratnya. Karena itu aku memutuskan untuk membawa istriku langsung ke RS. Muhammadiyah di sekitar Pasar Mayestik Jakarta Selatan yang memiliki fasilitas kesehatan lebih lengkap. Tak terbayang jika tetap di bidan andai terjadi kondisi darurat harus memboyong juga istriku mencari rumah sakit nantinya.
Jika berdasarkan perhitungan dokter saat itu memang sudah waktunya. Karena ini adalah anak pertama, aku sangat ingin istriku bisa melahirkan secara normal, selain faktor biaya aku juga mendengar proses kelahiran anak pertama akan menentukan bagaimana proses kelahiran berikutnya.
Sejak awal aku sudah izin untuk ambil cuti dari tempat kerjaku demi mendampingi istriku melahirkan. Aku tak peduli berapa lama nanti proses persalinannya. Kepada dokter yang menangani aku sudah meminta untuk mengusahakan agar anakku bisa lahir secara normal.
Sampai beberapa hari kemudian ternyata istriku masih belum juga merasakan mulas. Dokter juga sudah mulai melakukan berbagai cara metode induksi di antaranya kateter balon hingga suntikan induksi agar bisa terjadi kontraksi dan pembukaan rahim.
Pada hari itu mungkin sudah hampir seminggu istriku di rumah sakit. Tapi belum ada perkembangan yang berarti. Detak jantung bayiku yang terus dipantau terlihat mulai melemah dan istriku juga sudah mulai mengalami pecah ketuban tapi belum ada tanda kontraksi.Â
Dokter sudah menjelaskan resiko terburuk yang terjadi jika tetap berkeras ingin lahir normal. Dengan berbagai pertimbangan dan melihat kondisi istri yang juga kian mengkhawatirkan, aku dan istri memutuskan untuk memilih operasi caesar. Sayang aku tak diperbolehkan untuk memasuki ruang operasi.
Sebelum operasi dimulai dokter sudah meminta istriku untuk meminta maaf dan berpamitan kepadaku. Momen ini terasa mengharukan seakan aku harus menyerahkan nasib istri dan anakku di tangan dokter aku harus siap seandainya operasinya gagal mungkin salah satu ada yang harus dikalahkan, nyawa istriku atau nyawa anakku.
Saat itu sudah masuk waktu shalat dzuhur. Aku bergegas menuju mushola rumah sakit untuk shalat. Aku berdoa dalam sujud panjangku agar istri dan anakku dapat selamat dan terlahir dengan fisik yang normal.
Dalam khusuknya aku berdzikir. Saudaraku yang kebetulan ikut mendampingi menghampiriku mengabarkan bahwa anakku sudah lahir. Alhamdulillah. Penuh perasaan bahagia sekaligus khawatir aku segera menuju ruang persalinan.Â
Kulihat istriku di atas ranjangnya sedang didorong ke ruang pemulihan. Terlihat wajah istriku yang lemas dan pucat sepertinya masih terpengaruh efek obat biusnya. Dokter dan perawat mengucapkan selamat dan menjelaskan bahwa kondisi keduanya baik-baik saja.
Aku diminta ke ruang bayi untuk melihat putri kecilku. Disini aku mendengar pertama kali tangisannya. Aku perdengarkan di kedua telinganya suara ayahandanya mengumandangkan adzan dan iqamah. Ini adalah pendidikan awal dan ajakan pertama untuk putriku untuk menjalankan kewajiban shalat lima waktu.
Istriku memutuskan untuk berhenti bekerja demi mengurus putri kami agar tidak merepotkan ibuku yang sudah sepuh waktu itu.
Putriku tumbuh dengan sehat. Sering kuputarkan cd ayat-ayat suci Al Qur'an untuk menemani tidurnya. Aku berharap dia akan tumbuh menjadi seorang putri yang dekat dengan Al Qur'an.

Demi untuk mencoba hidup mandiri aku sekeluarga pindah tempat tinggal di sekitar tempat kerjaku. Di sebuah rumah kontrakan kecil ala kadarnya dengan kamar mandi bersama untuk dua rumah. Untuk air masih menggunakan pompa tangan.
Tapi aku cukup bahagia karena dekat dengan kantor waktuku untuk bercengkrama dengan putriku lebih banyak. Sebelum berangkat kerja aku masih sempat menggendongnya dan menyuapkan nasi sambil berkeliling melihat jalanan.
Dari hasil menabung aku berhasil membeli rumah tentu saja dengan mencicil dan kupilih rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ibuku. Sehingga tidak terlalu jauh waktu yang kutempuh jika ingin bertemu ibu. Setelah renovasi ala kadarnya rumah tersebut bisa kami tempati.
Di rumah baru kami karena jaraknya jauh dari tempat kerjaku otomatis waktuku bertemu putri semakin berkurang. Tapi aku selalu meluangkan waktuku sepulang kerja untuk bercakap-cakap dengannya.

Beberapa kali putriku memenangkan lomba baik di TK nya maupun pada kegiatan-kegiatan dilingkungan rumah dan mushola kami. Mulai dari lomba menggambar, hafalan surat, baca puisi hingga khotbah pada perayaan hari besar Islam. Aku mencarikan materi puisi dan membuatkan teks untuknya berkhotbah. Serta mengajarkan beberapa tekhnik membaca dan berbicara agar terdengar menarik.
Di usia 7 tahun putriku sudah hafal bacaan shalat. Aku memintanya untuk selalu membunyikan bacaan saat shalat agar aku dapat memperbaiki jika ada bacaan yang salah. Aku sudah mewajibkannya untuk menjalankan shalat lima waktu.
Yang cukup mencengangkan untukku. Saat usia SD putriku sudah memutuskan untuk mengenakan hijab saat bersekolah. Padahal ia hanya bersekolah di sekolah umum negeri. Aku tidak pernah menyuruhnya. Ini tentu saja berimbas baik pada istriku yang belum berhijab jadi mulai belajar menutup aurat dan berbusana muslim setiap keluar rumah.
Aku adalah guru kedua putriku jika di rumah. Karena istriku sibuk dengan pekerjaan rumahnya. Sering putri menelponku saat di kantor jika ada pelajaran yang dirasanya sulit.
Sepulang kerja saat tiba malam hari aku meluangkan waktuku walaupun lelah dengan menjelaskan pelajaran dan tugas rumah yang tidak dimengerti bahkan hingga larut malam.
Aku sangat senang jika melihat dia tersenyum saat bercerita tentang nilai sekolahnya yang bagus baik untuk PR maupun ulangannya.
Aku memang selalu menemaninya untuk memahami pelajaran yang sulit seperti matematika dan bahasa inggris. Putriku adalah salah satu penerima beasiswa dari tempat bekerjaku sejak kelas 2 SD secara berturut-turut hingga saat ini karena nilai raportnya yang cukup lumayan.
Terkadang ia bercerita kekecewaannya akan suatu hasil lomba yang tidak dimenangkannya. Ataupun nilai rapornya yang tidak sebaik sebelumnya. Akulah yang menghibur dan memberikan semangat serta motivasi agar ia bisa bangkit dan tersenyum lagi.
Saat putriku tertarik dengan dunia Youtube aku yang mencarikan link di youtube dan aplikasi yang cocok untuk dia belajar mengenai pembuatan video hingga mahir dalam mengedit video. Sayang minatnya berubah untuk tidak meneruskan channel youtube miliknya.
O, iya. Aku jadi teringat sebuah film barat bergenre action di salah satu televisi swasta. Maaf tapi agak lupa judulnya. Mungkin pembaca boleh komen jika ada yang tahu film ini. Rasanya jadi ingin menonton ulang film ini.
Bercerita tentang seorang ayah yang bertemu dengan putrinya yang telah remaja setelah berpisah bertahun-tahun lamanya. Ada momen di mana sang ayah yang membawa sepeda memaksa anaknya untuk menaiki sepeda tapi si anak menolaknya. Hingga si anak akhirnya memberitahu sang ayah bahwa dia tidak bisa mengendarai sepeda.
Percakapan berikutnya sangat menyentuh hati. Si ayah berkata, "Anak seperti apa yang sudah remaja seperti ini tapi tidak bisa naik sepeda."
Dalam marahnya sang anak berkata, "Anak yang kau tanya adalah anak yang tak pernah didampingi oleh ayahnya saat kecil hingga dewasa yang tak pernah mendapat pelajaran apapun dari ayahnya."
Sang ayah termenung dan sadar akan kesalahannya. Kemudian mengajari anaknya bersepeda.
Tidak seperti film mengharukan tersebut. Aku adalah guru anakku dalam belajar bersepeda dari mulai awal sampai mahir dan aku pula yang selalu menyemangatinya agar tidak putus asa. Agar tak takut saat jatuh dan berani untuk bangkit kembali.
Dan ketika mulai beranjak remaja ia berkeinginan belajar mengendarai motor. Akulah yang dengan sabar mendampinginya hingga bisa walaupun aku masih tidak memperbolehkannya mengendarai jauh karena belum cukup umur.

Keterampilan berikutnya yang menular kepada pada putriku adalah bermain gitar. Walaupun belum mahir benar tapi sudah mulai lumayan baik dalam penguasaan kunci gitar dan memainkan beberapa lagu.

Jika ada yang bertanya kenangan apa yang ingin aku wariskan untuk bekal putriku bercerita. Aku akan menjawab. Aku ingin meninggalkan kenangan manis kebersamaanku dengannya agar ia dapat bercerita hal-hal baik tentang ayahnya kepada orang lain. Aku ingin ia mengetahui dan mengingat betapa sayangnya aku padanya.
Betapa aku selalu akan ada pada saat ia membutuhkan aku. Aku ingin menjadi figur ayah yang dapat ia teladani. Dalam hal peribadatan maupun tingkah laku sehari-hari. Mungkin tidak sempurna tapi aku ingin menjadi salah satu laki-laki terbaik yang pernah ia kenal sepanjang hidupnya kelak.
Tangerang, Oktober 2020
Mahendra Paripurna
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI