Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dari Pikiran Kosong ke Monopoli Nilai

26 Juli 2019   19:20 Diperbarui: 26 Juli 2019   19:26 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: eventfinda.co.nz

Kekosongan di tengah malam sering dialami oleh siapapun orang yang tidak bisa tidur atau justru malah bangun tidur terlalu dini. Kosong bermakna bahwa pikiran masih terbuka untuk diisi oleh apapun yang mungkin terlintas sejenak di kepala. Lamunan atau hanya sekadar khayalan terkadang datang menghampiri dan mengisinya.

Lintasan peristiwa kemudian ikut mendatangi dan mulai memenuhi pikiran. Terkadang ia membawa kesenangan sampai menimbulkan senyuman, atau justru malah membawa kesedihan dan muka masam. Demikian itu seakan merupakan peristiwa yang setiap orang pasti mengalaminya dari waktu ke waktu secara bergiliran.

Pikiran tidak bisa selalu dalam keadaan kosong. Pikiran dibuat Tuhan berfungsi untuk mengolah segala informasi yang diresepsi oleh pancaindera dan perasaan untuk diarahkan pada sebuah kesimpulan. Pikiran selalu bekerja setiap saat selama manusia terjaga walau sekadar mengerjakan kekosongannya. Hanya ketika manusia tidur, pikiran memiliki jeda untuk beristirahat. Tetapi terkadang mimpi membangunkan tidurnya pemikiran kita.

Realitas dan Pikiran

Jika mengatakan bahwa pikiran merupakan instrumen internal manusia dan peristiwa atau kilasan sejarah merupakan objek eksternal di luar manusia, maka tampak jelas bahwa terdapat relasi kuat antara peristiwa dan pikiran manusia. Tidak ada peristiwa jika tidak ada yang memikirkan. Tidak ada pemikiran yang tidak memiliki isi sebuah peristiwa; apapun bentuknya peristiwa tersebut.

Hubungan-hubungan keduanya merupakan gerak dinamis interaktif antara kedirian manusia sebagai makhluk intelek dan realitas objektif alam semesta dan segala peristiwa di dalamnya. Alam semesta yang di dalamnya adalah peristiwa-peristiwa, tidak akan memiliki makna dan nilai jika manusia tidak mendudukkannya sebagai objek di luar dirinya.

Alam seakan tidak akan pernah ada jika tidak dipersepsi oleh manusia. Karena keberadaan alam tentu saja memiliki dasar, landasan dan tujuan yang dikaitkan dengan penciptaan manusia. Jika Tuhan menciptakan alam semesta, maka manusialah yang pertama dan utama yang diarahkan untuk berinteraksi dengan alam semesta tersebut.

Eksistensialisme dalam Pemahaman Keseharian

Berpikir seperti ini di dalam panggung filsafat diperankan oleh aliran filsafat eksistensialisme. Manusia sebenarnya yang membuat segala sesuatu menjadi ada di dalam maknanya. Tanpa manusia meng-ada dahulu, maka makna segala objek yang ada di sekitarnya menjadi tidak ada atau menunggu pemaknaan yang dilakukan manusia.

Seakan-akan manusia menjadi hakim dalam menilai alam semesta, maka kehadirannya mutlak diperlukan sebagai penentu mengenai eksistensi benda-benda yang lainnya. Betapa sentral kedudukan manusia ini di dalam cara perpikir eksistensialisme tersebut. Tanpa manusia, tidak ada apa-apa di dunia ini. Kira-kira ekstrimnya mungkin demikian.

Hanya saja ketika manusia terjerembab di dalam kekosongan pemikiran apakah ia menjadi tiada dan justru membuatnya lenyap dan tersesat di dalam eksistensi selain dirinya? Seseorang yang dikatakan gila, apakah ia benar-benar hilang dari panggung eksistensi manusia karena ketiadaan pemikiran yang normal di mata orang banyak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun