Di banyak ruang kelas pendidikan agama, guru tidak hanya menyampaikan materi ajaran, tetapi juga seringkali menambahkan cerita-cerita mitos atau kisah seram sebagai alat menakut-nakuti siswa. Contohnya, siswa diceritakan bahwa jika tidak ibadah, nanti jari-jari akan dibakar di neraka dengan besi panas. Atau, bahwa anak yang durhaka akan dibenamkan dalam kubur sempit penuh dengan ular. Pendekatan seperti ini mengerdilkan makna spiritualitas dan menjadikan agama sebatas sistem ancaman. Padahal, nilai-nilai agama seperti kasih sayang, empati, tanggung jawab, dan kejujuran bisa disampaikan dengan pendekatan yang lebih inspiratif dan reflektif, bukan intimidatif. Pendidikan agama semestinya juga dapat berpartisipasi dalam menciptakan "kesalehan lingkungan" yang saat ini menjadi salah satu isu global yang sangat penting.
Paradoks yang Bisa Dipadukan
Meskipun tampak kontradiktif, pendidikan agamis dan sekuler sebetulnya tidak harus saling bertentangan. Keduanya bisa bersinergi, terutama di konteks pendidikan Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya dan keyakinan. Pendekatan agamis dapat memberikan landasan moral dan spiritual, memberikan makna lebih dalam terhadap hidup dan hakekat hidup, serta menumbuhkan kesadaran akan keterbatasan manusia. Sementara itu, pendekatan sekuler dapat memperkuat rasionalitas dan tanggung jawab sosial, serta membantu siswa memahami dunia secara ilmiah dan logis. Bayangkan pengajaran agama yang tidak hanya berkata “jangan korupsi karena itu dosa”, tapi juga menjelaskan bagaimana korupsi menyebabkan kemiskinan struktural, menghancurkan kepercayaan publik, dan membuat pembangunan terhambat.
Pertarungan antara paradigma pendidikan agamis dan sekuler sebetulnya bukan soal benar atau salah, melainkan soal keseimbangan pendekatan. Pendidikan agamis yang dogmatis dan penuh mitos bisa mematikan akal sehat dan melemahkan daya nalar yang kritis. Sementara pendidikan sekuler yang steril dari spiritualitas bisa melahirkan generasi yang cerdas namun hampa makna. Di tengah krisis moral dan informasi seperti sekarang, Indonesia membutuhkan generasi yang tidak hanya takut pada dosa, tetapi juga sadar akan konsekuensi. Bukan hanya taat pada aturan karena takut neraka, tetapi juga karena memahami bahwa kebaikan membawa dampak nyata bagi kehidupan bersama. (Mahbub Alwathoni, 2025).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI