Pendidikan merupakan pilar utama dalam pembentukan karakter dan pola pikir individu dalam sebuah masyarakat. Dalam perjalanannya, pendidikan berkembang ke dalam dua spektrum besar: pendidikan agamis, yang berpijak pada nilai-nilai transenden dan kepercayaan akan otoritas ilahi; dan pendidikan sekuler, yang bertumpu pada rasionalitas, sains, dan pengalaman empiris. Keduanya memiliki paradigma yang berbeda, terutama dalam mengajarkan konsep baik dan buruk, benar dan salah, serta cara menghadapi kenyataan hidup. Perbedaan paling mencolok terlihat dalam pendekatan terhadap dua konsep sentral: dosa dalam pendidikan agamis, dan konsekuensi dalam pendidikan sekuler.
Untuk memahami perbedaan tersebut secara konkret, mari kita bandingkan dua ilustrasi dialog antara guru dan siswa pada lingkungan yang berbeda.
Ilustrasi 1: Sekolah di lingkungan masyarakat sekuler
Siswa: “Pak, kenapa kita tidak boleh menyontek saat ujian?”
Guru: “Karena kalau kamu menyontek, kamu tidak belajar bertanggung jawab. Di dunia kerja nanti, kalau kamu curang, kamu bisa kehilangan pekerjaanmu. Integritas itu penting.”
Siswa: “Jadi, konsekuensinya akan terasa di masa depan?”
Guru: “Betul. Dan bukan cuma masa depanmu, tapi juga kepercayaan orang lain terhadap kamu akan rusak.”
Dialog ini menunjukkan bahwa pendidikan sekuler menekankan konsekuensi nyata dari sebuah tindakan. Menyontek dilarang bukan karena dianggap “dosa”, tetapi karena memiliki dampak riil terhadap kehidupan dan hubungan sosial.
Ilustrasi 2: Sekolah di lingkungan masyarakat agamis
Siswa: “Pak, kenapa kita tidak boleh menyontek saat ujian?”
Guru: “Karena menyontek itu tidak jujur dan curang, Tuhan tidak suka orang yang tidak jujur, nanti kamu bisa masuk neraka.”
Siswa: “Tapi kalau tidak ketahuan?”
Guru: “Tetap dosa. Malaikat mencatat semuanya, meskipun manusia tidak tahu.”
Dalam pendekatan ini, menyadarkan orang (siswa) untuk selalu berbuat jujur bukan ditujukan pada efek duniawi-nya, melainkan pada konsekuensi spiritual yang bersifat abstrak dan berada di luar ranah empiris. Praktik pengajaran ilustrasi yang kedua sering dipraktikan oleh guru-guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah khususnya guru-guru agama.
Pendidikan Agama dan Dogmatisme
Di banyak sekolah, terutama di negara-negara dengan mayoritas beragama seperti Indonesia, pengajaran agama masih berlangsung secara dogmatis. Guru agama lebih banyak menekankan pada hafalan ayat, larangan, dan ancaman ketimbang membuka ruang dialog dan diskursus. Siswa diajari bahwa sesuatu itu salah karena kitab suci berkata demikian, bukan karena mereka diajak memahami mengapa hal itu salah secara rasional maupun sosial.
Kondisi ini menciptakan pembelajaran satu arah, di mana guru menjadi otoritas mutlak dan siswa menjadi penerima pasif. Keterampilan berpikir kritis yang semestinya dikembangkan dalam pembelajaran justru menjadi tumpul. Ketika siswa mencoba bertanya “mengapa” suatu ajaran diberlakukan, respons guru terkadang justru bersifat represif, seolah mempertanyakan adalah bentuk pemberontakan terhadap iman.
Dosa Versus Konsekuensi
Dosa, dalam pendidikan agamis, merupakan pelanggaran terhadap hukum ilahi. Namun, masalahnya, dosa bersifat abstrak dan tidak langsung terlihat dampaknya. Banyak dari konsekuensi dosa disebut terjadi setelah mati — neraka, siksa kubur, atau murka Tuhan. Ini menjadikan konsep dosa sulit dipahami oleh anak-anak dan remaja secara konkret.
Sebaliknya, pendidikan sekuler menggunakan pendekatan berbasis konsekuensi empiris. Ketika seseorang melanggar norma atau aturan, ada akibat langsung yang dapat diamati, seperti kerugian ekonomi, kehancuran hubungan sosial, atau hukuman hukum. Model ini lebih mudah dipahami dan dicerna dalam konteks dunia nyata.
Namun, bukan berarti pendekatan sekuler bebas dari kelemahan. Terlalu menekankan konsekuensi duniawi dapat membuat seseorang bersikap oportunis: selama tidak ketahuan atau tidak ada hukuman langsung, pelanggaran bisa dianggap sah-sah saja. Pendidikan sekuler juga kurang berkontribusi pada ketangguhan mental. Beberapa negara eropa yang dipandang memiliki corak pendidikan sekuler yang maju, agnostik dan ateis, ternyata angka bunuh diri-nya cukup tinggi.
Guru Agama dan Mitos Ketakutan
Di banyak ruang kelas pendidikan agama, guru tidak hanya menyampaikan materi ajaran, tetapi juga seringkali menambahkan cerita-cerita mitos atau kisah seram sebagai alat menakut-nakuti siswa. Contohnya, siswa diceritakan bahwa jika tidak ibadah, nanti jari-jari akan dibakar di neraka dengan besi panas. Atau, bahwa anak yang durhaka akan dibenamkan dalam kubur sempit penuh dengan ular. Pendekatan seperti ini mengerdilkan makna spiritualitas dan menjadikan agama sebatas sistem ancaman. Padahal, nilai-nilai agama seperti kasih sayang, empati, tanggung jawab, dan kejujuran bisa disampaikan dengan pendekatan yang lebih inspiratif dan reflektif, bukan intimidatif. Pendidikan agama semestinya juga dapat berpartisipasi dalam menciptakan "kesalehan lingkungan" yang saat ini menjadi salah satu isu global yang sangat penting.
Paradoks yang Bisa Dipadukan
Meskipun tampak kontradiktif, pendidikan agamis dan sekuler sebetulnya tidak harus saling bertentangan. Keduanya bisa bersinergi, terutama di konteks pendidikan Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya dan keyakinan. Pendekatan agamis dapat memberikan landasan moral dan spiritual, memberikan makna lebih dalam terhadap hidup dan hakekat hidup, serta menumbuhkan kesadaran akan keterbatasan manusia. Sementara itu, pendekatan sekuler dapat memperkuat rasionalitas dan tanggung jawab sosial, serta membantu siswa memahami dunia secara ilmiah dan logis. Bayangkan pengajaran agama yang tidak hanya berkata “jangan korupsi karena itu dosa”, tapi juga menjelaskan bagaimana korupsi menyebabkan kemiskinan struktural, menghancurkan kepercayaan publik, dan membuat pembangunan terhambat.
Pertarungan antara paradigma pendidikan agamis dan sekuler sebetulnya bukan soal benar atau salah, melainkan soal keseimbangan pendekatan. Pendidikan agamis yang dogmatis dan penuh mitos bisa mematikan akal sehat dan melemahkan daya nalar yang kritis. Sementara pendidikan sekuler yang steril dari spiritualitas bisa melahirkan generasi yang cerdas namun hampa makna. Di tengah krisis moral dan informasi seperti sekarang, Indonesia membutuhkan generasi yang tidak hanya takut pada dosa, tetapi juga sadar akan konsekuensi. Bukan hanya taat pada aturan karena takut neraka, tetapi juga karena memahami bahwa kebaikan membawa dampak nyata bagi kehidupan bersama. (Mahbub Alwathoni, 2025).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI