Mohon tunggu...
I Putu Hendra Mas Martayana
I Putu Hendra Mas Martayana Mohon Tunggu... Dosen - pendulumsenja

Ik Ben Een Vrijmaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Depancasilaisasi dan Warisan Konflik Diametral

3 Juni 2020   22:27 Diperbarui: 3 Juni 2020   22:25 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurutnya, persatuan yang Ia sebut sebagai nasionalisme adalah wadah bagi keberagaman Indonesia. Tanpa persatuan, semua akan tercerai berai. Obsesi BK tentang persatuan, sebagaimana juga Soepomo membantu kita memahami jejak intelektualitasnya sebagai hegelian sejati. 

Di sila kedua, BK menempatkan sila kemanusiaan, atau Ia sebut sebagai internasionalisme. Menurutnya, Indonesia sebagai calon negara besar jangan sampai jatuh menjadi fasisme yang berakar pada sikap chauvinisme. Internasionalisme BK juga beranjak pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan bagian dari warga dunia yang tidak bisa hidup sendiri. 

Pencantuman sila kemanusiaan atau internasionalisme setelah sila nasionalime sekaligus berimplikasi epistemologis yakni berupaya menetralisir sikap ultranasionalisme yang bisa saja menyergap mental sakit bangsa kita pasca kolonialisme Barat sebagaimana yang terjadi pada kasus Jerman dan Italia.

Kecerdasan BK tidak berhenti pada utak atik sila dan masing-masing maknanya bagi negara bangsa Indonesia. Lima sila yang digagas itu disaripatikan ke dalam tiga sila atau tri sila menjadi sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan religiusitas. 

Ketiga sila itu akhirnya melebur menjadi sebuah konsep yang khas dan berkarakter Indonesia, yakni gotong royong (eka sila). Menurut BK, gotong royong adalah roh dan jiwa bangsa Indonesia.

Indonesia adalah invention concept (ditemuciptakan) dan sangat social construction. Namun apa yang dilakukan BK melalui anak kandungnya yaitu pancasila  semata-mata memancangkan perlawanan terhadap sentrisme-sentrisme dominan yang selama ini menolak eksistensi bangsanya yang sedang sekarat. Oleh sebab itu konsep gotong royong adalah keberhasilan BK melakukan glokalisasi, alih-alih glorifikasi terhadap kekhasan Indonesia yang artifisial.        

Pidato BK pada sidang BPUPKI I sangat memukau peserta yang hadir. Tidak seperti pidato-pidato sebelumnya yang mendapat begitu banyak interupsi, pidato BK kali ini terasa menentramkan dan diterima sebagai calon konsepsi dasar negara. Untuk memperhalus redaksi BK, dibentuklah Panitia Sembilan. Hasilnya diumumkan pada 22 Juni yang menandai lahirnya Piagam Jakarta. Perbedaan dengan Pancasila yang kita kenal hari ini ada pada 7 kata tambahan di sila pertama di Piagam Jakarta yang terkesan menghadirkan nuansa negara agama. 

Negosiasi dan tarik ulur kepentingan politis ideologis tentang bagaimana seharusnya konsepsi dasar negara terus berlanjut sampai pada sidang PPKI I, 18 Agustus 1945 yang berhasil merumuskan tiga hal pokok. Pertama, menetapkan dasar negara yakni UUD 1945. Redaksi dan tata urutan Pancasila yang sah terdapat pada Mukadimah UUD 1945 alinea keempat. Kedua menetapkan presiden dan wakil presiden. Ketiga,  membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).   

Dalam proses negosiasi politis ideologis itu tidak banyak yang tahu bahwa hanya dengan keikhlasan umat Islam lah yang saat itu diwakilkan oleh tokoh-tokoh Muhamadiyah seperti Ki Bagus Kusumo, Pancasila yang kita kenal sekarang tanpa embel-embel 7 kata tadi menjadi tegak sebagai dasar Negara Indonesia. Tanpa adanya peran penting tokoh-tokoh Islam, niscaya Indonesia yang berdasar Pancasila tanpa 7 kata itu tidak mungkin terwujud

Masalahnya kemudian,  sejak era Orde Lama dan Orde Baru bahkan sejak awal Republik ini berdiri, narasi sejarah yang menempatkan Islam sebagai magnus opum dalam bingkai kebangsaan sering di(ter)lupakan. Ingatan kolektif terhadap rendahnya posisi tawar Islam dalam narasi sejarah bangsa Indonesia selalu hadir sebagai perdebatan akademis, bahkan politis ideologis. 

Biasanya, menjelang hajatan politik, sebagaimana bahaya laten komunisme, ingatan mengenai substansi Pancasila yang otentik itu ada pada Piagam Jakarta 22 Juni sengaja dimunculkan untuk memobilisasi massa demi syahwat politik golongan tertentu.  bagi mereka, peristiwa 1 Juni 1945 adalah rangsangan intelektual yang mendorong Panitia Sembilan menggarap bukan hanya ide-ide Soekarno, melainkan juga Soepomo dan Moh. Yamin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun